Waktu tahu saya harus menjelaskan tentang kekasih dambaan, rasanya saya ingin ngakak saja. Ngakak karena bingung harus menjelaskan apa. Saya nggak pernah yang namanya memikirkan bagaimana tipe yang saya inginkan. Kedengaran agak menyedihkan tapi pengen dingakaki ya, padahal biasanya manusia-manusia lain seusia saya justru lagi hobi-hobinya memikirkan bagaimana calon kekasih yang kelak menjadi calon suami mereka dengan sangat detail--sampai saya merasa mereka telah bercerita tentang orang yang sudah mereka nikahi. Karena saya sangat tahu dan sadar, bahwa kekasih dambaan saya akan selalu berubah sesuai dengan siapa yang saya rasa "pas".
Sebagai tipe manusia yang sulit jatuh cinta, hal itu justru tidak membuat saya memiliki kriteria yang ntritil atau menjadi sosok perfeksionis. Malahan saya hanya merasakannya menggunakan hati saya, tanpa banyak kriteria yang harus saya data dalam sebuah daftar. Selama dia laki-laki dan saya merasakan resonansi di antara kami, saya bisa jatuh cinta kepada dia. Nggak susah, tapi nggak gampang juga.
Dilihat dari mantan orang-orang yang pernah saya jatuh cintai--iya, bukan mantan pacar, soalnya saya nggak punya mantan jenis itu--atau bahkan masih saya suka, mungkin beberapa hal ini merupakan kriteria kekasih dambaan yang alam bawah sadar saya buat. Secara sadar saya nggak pernah mikirin, soalnya. Nggak muluk-muluk kok, berikut beberapa kriteria itu:
1.
Lebih tua dan dewasa. Sebagai perempuan, tentu saya ingin diayomi meski sekarang di mana-mana digalakkan kesetaraan gender atau apalah itu. Saya ingin ada yang membantu saya melangkah dalam kehidupan fana ini. Apalagi status saya sebagai anak sulung yang sangat ingin memiliki kakak laki-laki membuat saya menginginkan ia dapat berperan sebagai seorang kakak laki-laki juga. Ia tentu harus lebih dewasa dan lebih tua. Kalau ia tidak lebih dewasa dan sama kanak-kanaknya dengan saya, apa bisa saya andalkan dia saat saya sendiri ada masalah membutuhkan solusinya? Bagian yang lebih tua mungkin termasuk bagian yang opsional, tapi saya jelas ingin dia lebih tua dari saya.
Memang, sih, lebih tua tidak menjamin dia lebih dewasa dan lebih bisa mengayomi saya. Namun, ada alasan tersendiri bagi saya. Biar anak saya--andai kami menikah dan punya anak--nanti nggak bilang ke teman-temannya, "Ibuku lebih tua dari bapakku, loh." Silakan tertawa, asal jangan marah, saya nggak bermaksud apa-apa hanya mengatakan apa yang terlintas di pikiran saya. Bukan masalah sebenarnya. Saya sendiri kan tetap berhak memilih ingin yang seperti apa. Saya inginnya ya begitu, tetap pada pendirian saya--lebih baik yang lebih tua dari saya. Nggak genap dua minggu lebih tua dari saya bukan masalah, selama tidak lebih muda.
2.
Lebih tinggi dan manis. Tinggi..., siapa sih yang nggak ingin punya kekasih yang tinggi? Mungkin setinggi gantar itu nggak perlu lah. Saat berbicara dengannya saya tidak perlu menunduk itu sudah cukup sebagai batas minimal bagi saya. Saya juga perlu memperbaiki keturunan, Gaes. Masalah keturunan itu penting, meski ini sebenarnya hanya kekasih dambaan. Namun kekasih adalah hal yang tidak akan lepas dari suami juga masa depan keturunan. Makanya, memikirkan keturunan selama menulis kriteria kekasih dambaan itu perlu bagi saya.
Selain harus lebih tinggi, saya ingin dia memiliki wajah yang manis. Daripada ganteng, saya memang lebih memilih manis. Yang manis nggak akan bosan untuk dilihat--kadang bonus ganteng juga. Yah, kalau mau spesifik manis yang seperti apa, buat saya sih cukup yang senyumnya bikin adem. Setidaknya waktu hawa saya lagi ingin makan orang lalu melihat dia tersenyum, saya mendadak bisa merasakan kedamaian yang sempat hilang.
3.
Pintar tetapi tidak suka menggurui dan mendominasi. Orang pintar mungkin banyak, yang tidak suka menggurui dan mendominasi itu yang saya perlukan. Ini semacam kecerdasan emosional yang juga harus ia miliki selain kecerdasan intelektual. Dengan tidak bersifat menggurui, artinya dia mengetahui bagaimana menghargai apa yang dikatakan orang lain serta memberitahu tanpa merasa paling hebat. Ia pasti tidak akan tampak sombong dan mendominasi. Kepintarannya menjadi hal yang menyenangkan karena ia akan nyambung diajak mengobrol apa-apa tanpa membuat saya merasa goblok setengah mati.
4.
Setia dan seagama. Ini yang paling penting. Patah hati karena dua hal itu sama-sama nggak enak, makanya saya nggak mau patah hatinya karena dua itu. Mau diapa-apakan susah. Kalau dia tidak setia dan terlanjur jatuh cinta setengah mati pada orang lain, saya bisa apa? Kalau dia dari awal sudah berbeda agama dari saya, saya bisa apa? Terpaksa harus bubar jalan.
Sebenarnya saya hanya ingin buat tiga kriteria seperti sunnah Rosul, tapi bingung mau memasukkan kriteria yang keempat ke mana. Mau dihilangkan juga nggak bisa, setia dan seagama itu termasuk yang paling wajib. Empat saja nggak apa-apa, ya. Empat juga angka kesukaan saya, kok. Setidaknya dari sini saya tahu bahwa saya suka tipe yang seperti apa--meskipun suatu saat akan berubah. Lebih sering menjurus ke suami dambaan kalau dilihat-lihat. Nggak apa, nggak ada yang tahu kalau kekasih kita bakal jadi jodoh kita.
Nggak ada yang tahu juga kalau dia hanya jodoh orang lain yang kita pinjam, yang nggak sengaja kita jatuh cintai.[]
---
Diikutkan dalam #10DaysKF
CONVERSATION
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
About Me
Popular Posts
Blog Archive
-
▼
2017
(19)
-
▼
Januari
(9)
- Letter to Someone at Fourth Door
- Saya vs Opini Orang-orang
- Ungkapan yang Menguatkanmu
- Bagiku Hidupku, Bagimu Hidupmu
- Tiga Film yang Meninggalkan Banyak Kesan
- 6 Years and Still Counting
- Resolusi yang Teracak Muncul di 2017
- Dari Gregetan Sampai Dipaksa Pakai Gincu
- Kriteria Kekasih yang Pernah Saya Dambakan
-
▼
Januari
(9)
0 comments:
Posting Komentar