Seperti para peserta lain, saat melihat daftar #10DaysKF tema hari keempat merupakan salah satu yang paling menyita fokus saya. Tanpa menyebut nama, saya harus menceritakan pertemuan pertama saya dengan si "dia". Saya bingung bukan main, siapa yang harus saya ceritakan. Antara malas membuka luka lama dan tidak ingin membuat orang lain GR. Selain itu, di antara mereka juga mengesankan dan menyebalkan dengan caranya masing-masing, sehingga saya bingung siapa yang harus saya kisahkan di sini.
Hingga beberapa saat lalu, saya akhirnya sudah tahu siapa "dia" yang akan saya ceritakan. Dia yang sudah bersama saya selama enam tahun ini. Mungkin lebih tepat kalau kalian sebut "mereka". Mungkin memang sedikit menyalahi tema, tapi nggak apa. Tempat ini terlalu berharga untuk menceritakan tentang "dia" yang bahkan hampir tidak pernah membahagiakan saya.
Lima tahun, enam bulan, dan sepuluh hari yang lalu--Senin, 11 Juli 2011. Nyaris enam tahun lalu, tepat pada hari itu kami pertama kali bertemu. Dua puluh empat anak dengan latar belakang yang berbeda-beda itu disatukan dalam sebuah kelas. Beberapa dari kami mungkin sudah saling kenal dan pernah bertemu, tapi hari itulah di mana kami resmi berdua puluh empat bertemu lengkap.
Hari itu merupakan awal tahun ajaran baru. Kami semua masih sama-sama memakai baju putih merah dan membawa atribut yang diperlukan untuk melalui Masa Orientasi Sekolah. Seperti sudah terprediksi akan sering mengacau, kami semua sudah membuat ulah meski belum genap seminggu berstatus siswa di Sekolah Menengah Pertama tersebut. Kakak OSIS yang dijatah mengisi MOS di kelas menyerah, lelah dengan kegaduhan yang selalu berhasil kami buat.
Tahun pertama kami bukan tahun-tahun anteng kalem ala-ala anak kelas tujuh, tahun pertama kami bahkan sudah membuat banyak onar. Banyak sekali, dimarahi guru bahkan seperti bagian dari keseharian kami. Yang paling berkesan adalah waktu kami terpaksa mengepel kelas yang banjir. Jangan dikira banjir karena kebocoran--masa itu kelas kami termasuk yang makmur tidak pernah kena banjir kecuali kali itu. Banjirnya karena air satu galon yang tumpah ruah di lantai karena galonnya pecah. Jam pelajaran Ketrampilan Jasa--nama lain dari akuntansi di sekolah saya--terpaksa kami pakai untuk mengepel. Capek, tapi bikin ngakak jadi nggak apa.
Tahun-tahun selanjutnya menjadi tahun yang makin nggak anteng untuk saya dan mereka--yang di tahun ketiga jumlah kami bertambah delapan orang. Kenakalan-kenakalan kami mulai menjadi tapi masih batas wajar. Saya nggak tega menyebutkan onar-onar lain yang kami buat. Banyak sekali, dan semuanya berkesan.
Meski sering membuat onar, kami termasuk yang terbaik di sekolah, loh. Jangan tanya lomba-lomba KTS yang berhasil kami menangkan. Mulai dari karaoke sampai kebersihan, setidaknya kami hampir selalu dipanggil saat pengumuman. Di bidang akademik? Apalagi. Kalau boleh sombong, kelas kami menyumbang tujuh orang di peringkat sepuluh besar paralel kelulusan. Mungkin yang lainnya masih ada, tapi nggak perlu disebutkan semuanya. Biarkan saya mengenangnya sendiri, biar saya rindu sendiri, karena rindu itu berat apalagi rindu kepada orang-orang yang tidak pernah bisa kamu bersamai lagi.
Tiga tahun berlalu dengan sangat singkat, kami terpaksa harus lulus dan berpisah. Entah hanya berpisah kelas, berpisah sekolah, atau sampai berpisah kota seperti saya. Rasanya sedih. Tiga tahun sama sekali bukan waktu yang sebentar. Rasanya saya ingin mengutuk kebijakan kelas kami tidak ikut diacak kalau tahu akan seperti ini sedihnya. Tiga kali lipat, karena kami bersama tiga kali lebih lama dari kelas-kelas lain. Namun, setidaknya yang masih saya syukuri, saya mendapat teman-teman terbaik yang tidak akan tergantikan oleh siapapun.
Kelulusan kami bukan hal yang membuat kami saling melupakan dan pura-pura tidak mengenal. Kami masih terus saling mengingat. Waktu pergi jauh, masih ingat membawakan mereka oleh-oleh. Waktu ulang tahun, masih ingat mereka bisa ditraktir. Waktu mau ulangan--karena mayoritas sekolah di SMA yang sama--masih ingat ada mereka yang bersedia sharing. Bagi kami, berpisah bukan ajang saling melupakan. Melainkan di mana kami justru mengingat mereka lebih baik.
Kalau diminta bercerita tentang mereka, maka saya tidak akan pernah bisa untuk menghentikannya tanpa terpaksa. Kenangan tentang mereka salah satu yang terbaik. Kerinduan kepada mereka tak pernah berhenti mengalir, bahkan sejak detik pertama saya meninggalkan tempat kami berkumpul.
Terima kasih untuk enam tahun yang masih terus berjalan.
CONVERSATION
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
About Me
Popular Posts
Blog Archive
-
▼
2017
(19)
-
▼
Januari
(9)
- Letter to Someone at Fourth Door
- Saya vs Opini Orang-orang
- Ungkapan yang Menguatkanmu
- Bagiku Hidupku, Bagimu Hidupmu
- Tiga Film yang Meninggalkan Banyak Kesan
- 6 Years and Still Counting
- Resolusi yang Teracak Muncul di 2017
- Dari Gregetan Sampai Dipaksa Pakai Gincu
- Kriteria Kekasih yang Pernah Saya Dambakan
-
▼
Januari
(9)
0 comments:
Posting Komentar