![]() |
| source: kaskus.co.id |
Oleh : Refa Annisa
“Dua puluh… dua puluh satu…”
Kuhitung deburan ombak yang datang mendekat dengan suara bergetar. Air mataku tiada
habisnya meluncur sejak hitungan pertama. Pelukan pada lututku yang tertekuk kupererat.
Berharap sesak dadaku akan berkurang. Namun sama sekali tidak berhasil, nihil.
Kupikir liburan kemarin aku bisa melupakan segala hal tentang itu. Tentang
undangan pernikahan dari Rea. Tentang Bara yang ternyata menjadi mempelai pria
dalam pernikahan sahabatku itu—sebuah kejutan terlalu mengejutkan, yah, karena
Rea sendiri tidak pernah menceritakan tentang hal itu kepadaku hingga tiba-tiba
saja kudapati ia mengantar undangan itu sendiri ke rumahku.
Namun tetap saja aku memikirkannya, bahkan sampai kepulanganku hari
ini. Tahukah kau betapa sakitnya mendapati seseorang yang sudah kaukagumi selama
lebih dari lima tahun kini kaudapati akan menikah dengan sahabatmu? Bahkan
tanpa kaudapati bahwa orang itu mengetahui tentang perasaanmu padanya.
Birunya air laut yang sejak dulu selalu kupuja, kini kurasakan
hambar. Begitu pun dengan menghitung ombak, aku sudah tidak melanjutkannya
lagi.
Di pikiranku kini tengah terjadi sebuah kemelut, kebingunganku
untuk datang ke resepsi pernikahan Rea atau tidak. Tentu aku tidak bisa datang
dengan keadaan hati yang remuk redam seperti ini, bahkan patahannya tidak
kuketahui berapa jumlahnya. Namun, seandainya aku tidak datang, apa Rea masih
sudi menatap mukaku? Aku tahu, Rea adalah pribadi yang cukup angkuh. Dia tentu
tidak bisa dengan mudah menerima apapun alasanku nanti. Dan kurasa dia sama
sekali tidak tahu tentang perasaanku pada Bara karena aku sama sekali tidak pernah
menceritakan kepadanya.
Adalah Leo, yang selalu kuceritakan tentang Bara. Aku mengenal Leo
bahkan sudah lebih lama dari aku mengagumi lautan, karena dia pula yang
membuatku begitu mengagumi lautan, memberitahuku bahwa aku cukup bisa merasakan
kesedihanku akan berkurang saat menghitung deburan ombak yang datang mendekat.
“Kesedihanmu nanti pasti akan dibawa pergi oleh ombak, menuju ke
lautan. Jadi dengan kamu menghitung ombak, kamu akan bisa merasakan kesedihanmu
berkurang, Rin,” katanya waktu itu, waktu sekolah dasar kami mengadakan
kegiatan di pantai. Seketika itu juga aku amat menyukai laut.
“Tapi kurasa tidak untuk saat ini,” ucapku lirih sambil mengusap air
mataku. Mungkin karena kesedihanku yang terlalu besar sehingga membutuhkan
hitungan ombak yang banyak. Sedangkan daritadi sedah berapa banyak ombak yang
kuhitung? Ah, bahkan tadi hanya sampai dua puluh satu. Pantaslah belum hilang
rasa sesaknya.
“Hai, apakah kau sedang menghitung ombak, Nona Laut?” Tiba-tiba kudengar
sebuah suara dan panggilan yang sangat kukenal—yang diberinya ketika tahu aku
amat menyukai laut. Suara Leo. “Kurasa kau sedang sedih?”
Menyadari itu adalah suaranya, aku langsung menghapus air mataku.
Tidak mau Leo mengetahui bahwa aku sedari tadi menangis karena Bara. Bisa-bisa dia
menyeretku ke depan Bara untuk menyatakannya. Kurasa dia juga sama lelahnya
denganku tentang perasaan ini, lelah melihatku merasa sakit karena terus
menyimpan perasaanku tanpa ada niatan untuk menyatakannya.
“Ya dan tidak,” kataku sedikit berbohong untuk pertanyaan kedua. Kudapati
Leo lalu duduk bersila di sampingku membuatku terpaksa bergeser sedikit ke
kanan karena tidak lebih dari satu meter di sebelah kiri Leo ada seorang
ibu-ibu paruh baya sedang berdiri sambil mengobrol dengan anak perempuannya,
entahlah tentang apa.
“Kurasa aku mencium sedikit bau kebohongan.” Leo lalu memasang
ekspresi seperti sedang mengendus. Aku hanya tertawa kecil, sembari menyematkan
rambut ke belakang telinga yang dihembus nakal angin laut karena salah tingkah.
Ah, rupanya Leo bukan orang
yang tepat untuk kubohongi.
“Jadi, apakah tawamu itu menunjukkan bahwa kauakui itu?”
Aku hanya tersenyum, senyum timpang dengan tatapan kosong ke arah laut.
Tidak bisa mengelak lagi.
***
Sebuah senyum timpang kudapati terpoles di bibir Rin. Dia tidak
mengelak lagi. Ah, Nona Lautku, jadi kamu meremehkan kemampuanku untuk
mendeteksi kebohongan yang terucap dari mulutmu? Kau tahu, aku bahkan jauh
lebih mengerti kau dari siapa pun, termasuk kedua orang tuamu. Jadi, hanya
mendengar suaramu aku sudah tahu kamu berbohong atau tidak. Yah, walaupun tadi
aku sedikit curang karena melihat sendiri kamu mengusap air matamu.
“Jadi, apa yang membuatmu sedih?” tanyaku sambil membetulkan posisi
dudukku. “Bara?”
Kurasa tebakanku barusan begitu tepat sasaran. Wajah Rin langsung
berubah. Tatapannya ke arah laut berubah, menjadi tatapan yang mendamba tapi
sesuatu yang didamba tidak bisa diraihnya. Aku lalu hanya bisa terdiam dan
mengambil napas dalam-dalam.
“Sudah kuduga. Aku tahu, jika kesedihanmu belum reda meski sudah
menghitung ombak, pasti itu tentang Bara. Dan Rea,” kuberi jeda sedikit sebelum
menyebut nama teman dekat Rin selain aku itu, Rea. Wajah Rin kini justru
menunduk semakin dalam. Bahkan kini kudapati tetes-tetes bening air mata turun
dari pelupuknya.
“Rasanya sakit sekali, Le. Sakit,” lirihnya dengan suara bergetar. Hei, Nona Laut, sebanyak apakah kini
patahan-patahan hatimu?
“Tapi kamu tak boleh menjadi lemah hanya karena rasa sakit itu.
Rasa sakit itu bukan ada untuk melemahkanmu, tapi untuk membuatmu berjuang dan
menjadi lebih kuat.” Kutatap sepasang mata hitam Rin yang tampak berkilau karena
air matanya yang tak juga berhenti.
“Kamu mengatakannya seakan kamu sudah sering menghadapinya, Le.”
Aku hanya terus menatap kedua mata gadis itu. Menunggu kelanjutan dari
kalimatnya, karena kudapati bibirnya itu belum sepenuhnya terkatup. Jadi kurasa
dia belum memberiku kesempatan. “Kamu tidak tahu bagaimana rasanya berada di
posisiku.”
Kini, Rin justru berkata
seakan dia adalah seseorang yang paling sengsara. Dirinya tidak tahu bahwa aku
juga sama sepertinya, sengsara dan menderita. Dirinya tidak tahu bahwa
sebenarnya aku mencintainya secara diam-diam “Aku memang tidak pernah berada di
posisimu, Rin. Tapi aku tahu perasaan mencintai diam-diam dan tak berbalas.”
Lagi-lagi Rin hanya terdiam. Tapi tidak dengan mata hitamnya. Mata
itu menuntut jawaban, menuntut kejelasan tentang bagaimana perasaan mencintai
diam-diam dan tak berbalas yang kuketahui itu.
“Aku, laut, telepon,” kataku kemudian. Tiga kata berisi teka-teki
yang selama ini ingin kucapkan untuk mengucapkan perasaanku kepada Nona Lautku
itu. Itu menjelaskan jawaban yang tadi diminta mata hitamnya. Jawaban tentang
perasaan terdalamku, tentang rahasia terdalamku. Rahasia yang tidak akan pernah
Rin temukan jawabannya sedalam apa pun Rin menyelami mata cokelatku.
“Kamu hanya perlu menerjemahkannya ke bahasa Inggris. Setelah itu,
kurasa sebuah persoalan mudah bagi seorang mahasiswi Sastra Jepang sepertimu.”
Aku lalu bangkit dan berbalik pergi. Akhirnya aku mengeluarkan perasaanku itu
kepada Rin.
I sea tel. Aishiteru.
_____________________
Diikutkan dalam tantangan #KaramDalamKata yang diberikan oleh @KampusFiksi

0 comments:
Posting Komentar