Fuurin - #JCDD2
Fuurin
Oleh : Refa Annisa
Oleh : Refa Annisa
Setiap kali detingan halus Fuurin—lonceng
angin khas Jepang—yang tergantung di balkon kamarku menyentuh lembut gendang
telinga, aku selalu teringat kembali dengan perasaanku pada pemuda itu dan
janjinya sebelum dia pergi ke Jepang. Perasaan yang masih kusimpan hingga saat
ini. Sebuah janji suci yang membuatku mempertahankan perasaanku untuknya,
mempertahankan jalanku untuk kulangkahi bersamanya.
Denting lembut yang
dihasilkan oleh senggolan tabung kaca bening bergambar burung-burung warna biru
laut dan tali biru tua yang menggantungkan sebuah bola logam kecil di bagian
atas tabung karena angin berhembus menggoyangkan kertas bergambar laut yang
tergantung di bawah tali membuatku kembali merasakan euforia mencintainya
diam-diam, getar-getar yang selalu membuatku bahagia ketika berada di dekatnya.
Dan setiap melihat tulisan berupa kutipan dari manga kesukaannya di balik
gambar laut itu, aku selalu ingat, bahwa dia benar-benar menyayangi dan
mencintaiku.
“Care to little, you lost them. Care to
much, you get hurt.”[1]
Begitulah yang ditulisnya.
Dia sering mengatakan aku harus melindungi dan menjaga apa pun yang kusayangi,
yang kucintai. Tapi, bagaimana caranya kalau “dia” sudah tidak lagi ada dalam
pandangan mataku? Apa aku harus tetap mencintainya? Lalu, bagaimana caranya aku
membuktikan bahwa aku mencintai dan menyayanginya jika aku tidak lagi bisa
melindungi dan menjaganya dengan lenganku sendiri? Intinya, aku ingin dia
kembali ada di sisiku seperti dulu.
***
Dia adalah Haru, seorang
pemuda blasteran Jepang-Indonesia. Kami sudah bersahabat sejak kami masih
sama-sama duduk di bangku sekolah dasar. Bagiku dia sudah seperti kakak. Selain
karena dia selalu mengerti bagaimana aku, juga karena usia kami terpaut dua
tahun. Pemuda itu terlambat setahun untuk masuk ke sekolah dasar dan aku
setahun lebih cepat.
Aku masih ingat bagaimana
awal pertemuan kami. Kami dipertemukan dengan insiden berebutan bangku di kelas.
Saat itu aku tidak masuk pada hari pertama sekolahku karena terkena demam dan
harus terbaring di tempat tidur seharian penuh, sehingga aku tidak tahu apa pun
dan belum mendapatkan kursi di kelas, aku langsung main usir Haru yang sudah
duduk di bangku itu lebih dulu. Kami sampai ejek-ejekan pada saat insiden itu,
walaupun jujur saja aku yang memulai masalah. Aku mengejeknya sipit dan dia
mengejekku kribo—errr, padahal rambutku hanya keriting biasa, sungguh. Aku bersikeras
untuk tetap duduk di situ sendiri dan Haru yang tidak kalah keras
mempertahankan bangkunya itu.
“Aku mau duduk di sini
sendirian! Pergi sana, Sipit!” seruku setengah berteriak ketika itu sambil
berkacak pinggang pada anak laki-laki yang bermata sipit dan berwajah oriental
itu, Haru.
“Nggak mau, aku udah duduk di sini dari
kemarin! Dasar kribo!” Ucapannya kali itu bernada sama kerasnya denganku. Kami
sama-sama mempertahankan keinginan—lebih tepatnya aku yang memaksa dan dia yang
benar-benar mempertahankan bangkunya.
“Iiih, kan aku mau duduk di
sini sendirian! Sana kamu pergi, Sipit!” Kuhentakkan kaki kananku keras-keras
ke lantai ruang kelas ini. Beberapa anak lain perhatiannya pun teralih ke arah
kami yang masih ribut saling berebutan bangku itu. Aku tidak perduli menjadi
pusat perhatian, tidak perduli juga karena yang kini kuhadapi badannya lebih
besar daripada aku.
Mendengar nadaku yang
semakin keras, dan makin mirip dengan preman pasar yang sedang minta upeti
illegal—sungguh, menurutku kali itu aku memang galak sekali—matanya langsung
memicing dan makin sipit. “Enak aja, aku di sini duluan! Kamu aja sana yang
pindah!”
Karena tahu dia akan terus
mempertahankan pendapatnya, aku langsung bergerak saja meletakkan tasku di
salah satu kursi kayu itu lalu memberikan tas milik Haru. Supaya tidak
kelamaan. “Nih, sana pindah. Ini bangkuku,” kataku dengan santainya sambil mengacungkan
tas itu ke hadapan Haru lalu duduk di kursiku dengan tenang.
Dan ternyata Haru juga
tidak mau hanya berdebat lantas mengalah dari anak perempuan kecil yang
tiba-tiba membentak lalu mengusirnya secara sepihak. “Aku mau tetep duduk di
sini. Kalau kamu mau duduk di sini, nggak apa-apa. Tapi aku tetep nggak mau
pindah!” nada suaranya agak keras di bagian akhir. Tasnya lalu dia letakkan di
bangku sebelahku.
Aku hanya mengomel sendiri
setelahnya, melihat kami seri dan Haru yang tidak acuh dengan keberadaanku.
Dengan terpaksa aku menerima untuk duduk dengannya, karena aku tidak mau duduk
di bagian paling belakang. Tubuhku sudah cukup kecil, kalau di belakang
bisa-bisa guru yang mengabsen tidak akan melihatku dan menuliskan huruf A di
daftar absensi. Baiklah, itu terlalu berlebihan.
Tapi, siapa yang tahu saat
itu kalau pertemuan kami membuat kami menjadi sahabat dekat yang akhirnya
menjadi saling membutuhkan dan melindungi satu sama lain? Dan sungguh sebuah
kebetulan atau bagaimana, ternyata jarak rumah kami hanya berapa rumah. Aku
baru tahu, sungguh! Kurasa ini karena aku hampir tidak pernah keluar rumah. Aku
lebih suka bermain di rumah dan membaca buku-buku di perpustakaan pribadi milik
keluargaku. Kegiatanku di luar hanya sekolah dan les piano saja. Sudah,
setelahnya aku lebih suka berada di rumah.
Sejak saat itu dan setelah
mengetahui rumah kami yang juga berdekatan, aku dan Haru menjadi akur dan dekat.
Terus berada di sekolah yang sama setelahnya, saling mengerti satu sama lain,
dan juga saling membutuhkan. Kami tumbuh bersama sesuai dengan pribadi
masing-masing. Aku menjadi gadis tomboy yang hobi menulis dan
bermain piano. Haru menjadi pemuda dingin yang cukup tampan juga populer karena
bakat menggambarnya.
Populer. Ya, dia sangat
populer sejak berada di kelas sembilan, tahun terakhir kami berpakaian putih
biru. Sosoknya menjadi banyak perbincangan di kalangan gadis-gadis sekolah.
Teman seangkatan kami banyak yang sok akrab dengannya. Lebih banyak lagi adik
kelas yang menyukainya meski dia tidak aktif dalam organisasi atau
ekstrakurikuler apa pun, kecuali majalah dinding sekolah. Aku sering kali
dicegat oleh mereka lalu dimintai nomor ponsel Haru, dan tidak pernah kuberikan.
Si Sipit Jepang itu yang memintaku, kalau melanggar nanti aku bisa tidak dapat
tumpangan ke sekolah karena dia marah. Semua omongan tentang dirinya selalu tidak
dia hiraukan, hanya dianggap angin lewat.
Dan diriku ternyata ikut
terjebak dalam pesona itu. Aku tidak akan pernah lupa pada saat mulai merasakan
getar-getar perasaan itu. Awalnya aku tidak menyadari perasaan ini, kukira
semua itu tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Itu hanya sebuah perasaan biasa.
Tapi perasaan ini lama kelamaan menjadi bertambah dan tumbuh terus menerus. Aku
jadi selalu cemburu setiap ada gadis yang genit kepadanya, yang tadinya cegatan
adik kelas kutanggapi biasa saja kini menjadi senis. Perlahan-lahan aku mulai sadar,
bahwa perasaan ini adalah perasaan yan istimewa. Aku telah jatuh cinta. Cintaku
yang pertama.
Getar-getar yang berbeda
selalu hadir tatkala benakku membayangkan sosok Haru. Telingaku seakan sanggup
mendengar bunyi detak jantung dengan sangat keras tatkala mendengar nama itu
disebut. Degup jantung pun bertempo lebih cepat dari lagu apa pun yang ada di
dunia ini jika aku berada di dekatnya. Perasaan itu sungguh tidak tertahankan.
Aku selalu ingin bersama dengan Haru. Aku selalu ingin ada di sisinya.
Semakin hari debaran itu
terus bertambah, waktu selalu menambahkan detaknya setiap ketuk. Aku juga terus
berusaha mengubur perasaan itu, yang makin tumbuh besar. Makin hari, makin
kagum saja aku kepadanya. Terlalu sulit bagiku untuk tidak mengagumi dan
menatap lama-lama wajah orientalnya—sepasang mata beriris biru gelap, bibirnya
yang tipis, rahang yang kokoh, dan hidung yang mancung—turunan dari sang ayah
yang lahir dan tumbuh di Jepang juga beberapa bagian yang mirip dengan wajah
ayu ibunya yang sudah tidak ada sejak kami masih duduk di bangku kelas tujuh.
Tidak ada yang benar-benar
mengetahui kalau perasaanku kepada Haru sudah bukan lagi hanya sebatas sahabat
yang sejak kecil. Kusembunyikan rapat-rapat, kusegel dengan kunci yang haya
bisa dibuka oleh waktu secara perlahan—karena kutahu, rahasia tak akan
tersimpan untuk selamanya. Kecuali satu orang. Dia adalah Rin. Teman dekatku
selain Haru di SMA. Hanya dia seseoran yang memahami perasaanku, meski kerap
kali kesal karena tahu aku hanya mau menyimpnannya. Berkali-kali dia membujukku
untuk menyatakannya kepada Haru. Berkali-kali pula dia berhasil membuatku
terdiam ketika berdebat tentang topik itu tanpa mau mengaku kalah dan berjanji
menyatakannya. Karena sebenarnya aku membenarkan hampir seluruh ucapan Rin, aku
hanya terlalu takut untuk mengubah semua ini.
“Udahlah, Ge, kamu bilang
aja sama Haru kalau kamu suka sama dia,” katanya suatu sore ketika kami sedang
duduk bersama di sebuah kedai kopi menghabiskan waktu. Kami berdua suka sekali
duduk bersantai di kedai kopi begini saat ada waktu luang untuk sekedar
mengobrol tentang hal-hal ringan yang marak dibicarakan. Tapi topik ini sama
sekali bukan bagian dari topik itu, topik ini cukup serius bagiku. Segala
tentang Haru dan perasaanku adalah sesuatu yang serius untuk dipikirkan.
Aku terdiam sejenak sambil
menyesap secangkir cappuccino-ku yang asapnya masih mengepul menggulung di udara sambil memejamkan
mata, membiarkan lidahku merasakan sensasi dari rasa kopi kesukaanku itu.
Sekaligus kembali merenungkan perkataan Rin yang kesekian kalinya dia ucapkan. Tentang
sarannya untuk mengatakan perasaan itu. “Nggak segampang itu, Rin. Ini itu
rumit. Aku sama Haru udah deket sejak kita masih sama kecil. Semua orang tahu
kalau dia sahabat dan kakak buatku, segalanya nggak sesederhana apa yang kamu
bilang. Susah buat mengubah apa yang ada sekarang.”
Rin berdecak kesal. “Apaan,
sih, yang rumit dan nggak sederhana? Kamu aja yang bikin semuanya kelihatan kaya
gitu, Ge. Semua ini itu sederhana seandainya kamu mau jujur sejak dulu. Lebih
baik kamu cepat-cepat jujur. Sebelum terlambat, sebelum dia udah nggak selalu
ada buat kamu lagi.”
Aku menghela napas sejenak.
Gadis ini tidak tahu serumit apa yang ada, bahkan aku sampai bingung untuk
menjelaskan detailnya. “Semuanya emang rumit, Rin. Mengubah keadaan
persahabatan kamu yang udah terlanjur sedekat itu nggak semudah membalikkan telapak
tangan. Mencintainya diam-diam sudah cukup rumit untukku, apa lagi memikirkan
untuk mengatakannya.” Semuanya rumit bagaikan benang kusut yang tak kunjung
kutemukan mana ujungnya. Hubungan kami sudah terlanjur seperti es yang mencair,
butuh usaha lagi untuk mengubah wujudnya dari menjadi padat lagi.
“Terus kamu mau tahan,
gitu, perasaan kamu buat Haru selamanya?” Sepasang manik cokelat Rin berputar
kesal. Jari telunjuknya kini mengetuk-ngetuk meja. “Atau kamu mau tunggu Haru
yang menyatakan perasaan?” Alisnya terangkat sambil mata melotot menatapku. Aku
tahu, dia cukup frustasi karena selama ini mendengar tentang perasaan
diam-diamku pada Haru. Muak dengan semua perkataanku padanya yang tidak pernah
berani kuutarakan pada pemuda yang kuceritakan kepadanya. Memang siapa lagi
yang bisa mendengarkan ceritaku selain dia?
Aku hanya diam dan
menggigit bibir mendengar ucapan Rin itu. Benar, aku tidak bisa terus menerus
menyimpan perasaanku kepada Haru. Aku tidak bisa selamanya diam-diam mencintai
Haru lalu berpura-pura terlihat aku tidak memiliki perasaan kepadanya. Perasaan
ini mungkin suatu saat harus diungkapkan, Haru harus tahu tentang ini. Tapi,
sekali lagi, semuanya itu begitu rumit.
Terutama hubungan kami yang
sudah terlanjur seperti ini. Sudah terlalu dekat dan nyaman dengan status
persahabatan kami. Tapi aku tetap harus menyelesaikan semuanya, aku harus
menyelesaikan langkah yang kuambil sejak awal, tidak ada langkah untuk kembali
lagi. Kuakui, sebenarnya selama ini aku hanya terlalu takut untuk mengubah
hal-hal itu jika nantinya jadi tidak sesuai harapan. Aku masih takut dengan
semua resiko yang seharusnya kutanggung sejak awal. Aku belum siap menerima
semuanya jika memang benar-benar gagal.
“Udah tiga tahun loh, kamu
mau tunggu sampai kapan?”
Aku hanya diam. Sudah
kesekian kalinya dia membuatku terdiam.
***
Hubunganku dan Haru adalah
sesuatu yang sederhana tapi cukup rumit untuk diubah. Sedikit saja ada
kesalahan saat berusaha mengubahnya, hubungan ini bisa tidak seperti ini lagi.
Maka dari itu aku tidak berani mengambil langkah sembarangan mengenai
perasaanku. Memang perasaan ini cukup sederhana, tapi dia sama seperti hubungan
kami. Salah sedikit maka sanggup mengubah segalanya menjadi buruk dan
menghacurkan sesuatu yang bahkan sudah tegak dan mantap berdiri.
Hubungan kami tidak
sesederhana sebuah persahabatan. Kami sudah menjadi dua orang yang tumbuh
bersama, saling membutuhkan satu sama lain. Sadar tidak sadar kami akan merasa
kehilangan jika terpisah, sesuatu yang selalu kutakutkan. Dan sesuatu yang
kutakuti tidak selalu berhasil kuhindari. Dua ketakutan besar tentang Haru
dalam diriku akhirnya datang hari itu.
“Gemini…” panggilnya sambil
beralih dari gambar salah satu tokoh manga kesukaannya. Oh, aku benci
sekali—meski sebenarnya aku suka juga dengan nama itu karena unik dan jarang
ada—kalau sudah dipanggil begitu oleh Haru. Bukan hanya dia, tapi semua orang.
Ayolah, itu terlalu panjang ada tiga suku kata.
Sejenak kupalingkan
pandangan dari layar laptopku ke wajah Haru. “Apa? Udah kubilang berapa kali,
sih, panggil aku Gea aja? Jangan Gemini!”
“Halah, kamu juga
sebenernya suka, kan, sama nama itu?”
“Masa bodoh, lah. Ada apa?”
Perasaanku tidak enak. Muka Haru yang tadi mengajakku bercanda mendadak menjadi
serius. Tatapannya yang hangat penuh canda seperti tadi hilang digantikan oleh
ketegangan yang kini mendominasi atmosfer sekitar kami.
Mata biru yang begitu
kukagumi sejak menyadari warnanya itu menatapku dalam-dalam. “Ge, aku
harus pindah setelah UN. Ke Jepang, ayahku minta aku kuliah di sana.” Singkat,
padat, dan jelas. Udara di sekitarku mendadak jadi menipis.
Aku hanya bisa menatapnya.
Diam, tidak ada sepatah kata pun yang meluncur keluar dari mulutku. Pikiranku
kacau balau. Hatiku mengempis seketika. Apa ini seperti kata Rin, ketika Haru
sudah tidak bisa selalu ada di sampingku? Saat itu juga kedua mataku memanas
karena air mata yang mendesak keluar tapi masih kutahan. Masih juga memastikan
bahwa ucapan Haru itu memang serius. Kau tahu, saat ini aku berharap Haru
bercanda seperti biasanya, meski aku kesal ketika berhasil dia kerjai.
Kudengar helaan berat napas
Haru melihat aku yang tidak merespon apa-apa kecuali menatapnya. “Aku tahu ini
emang berat buat kamu, Ge. Ini juga berat buatku. Tapi ini semua kemauan
ayahku,” kata Haru parau lalu menunduk menatap kosong ke arah gambarannya. “Jujur
saja, aku ingin terus di sini. Kamu tahu sendiri, dari kecil kita bareng
terus.”
Bulir-bulir bening yang
sempat kutahan tadi tidak mau lagi bertahan. Haru sungguhan akan pindah ke
Jepang. Ini bukan candaannya yang biasa, dia tidak tertawa lalu mengacak rambut
keritingku ketika aku mengerucutkan bibir kesal berhasil ditipu. Benteng yang
tadi menahan air mataku hancur, tetesan air mataku seketika meluber leleh ke
pipiku. Skenario mengerikan yang kubayangkan ketika Haru tidak lagi di sisiku
kini semakin membayangi. Ketakutanku akan kehilangannya kini di depan mata.
Tangisku kemudian semakin menjadi ketika teringat akan pertemuan pertama kami.
Di situ waktu menyembunyikan apa yang akan terjadi dengan rapi. Dua anak kecil
yang masih polos itu tidak pernah tahu kalau mereka akan terlibat dalam sebuah
persahabatan dan salah satu dari mereka akan mencintai yang lain lebih dari
seharusnya. Setelah itu, kini mereka akan dipisahkan. Drama yang hebat, ya.
“Memilih antara kamu dan
ayah adalah dua pilihan yang sama sekali nggak mau aku pilih,” Haru kini
berjalan mendekat ke arahku dan duduk di sampingku, “kalian berdua sama-sama
penting untukku, terlebih setelah ibuku tidak ada lagi.”
“Haru, jangan pergi. Di
sini aja, di sisiku…” lirihku sambil menyandarkan kepalaku di bahunya. Mataku
masih belum berhenti meluapkan perasaan takut kehilangan. Benakku juga tidak
berhenti menjadi seorang penulis naskah yang menebak-nebak bagaimana
kehidupanku nanti setelah tidak ada Haru. Oh, aku tidak suka drama ini, apa
lagi setelah Haru tidak ada nanti.
“Kamu jangan sok puitis
gitu, ah, ngomongnya.” Usahanya untuk menguarkan kembali atmosfer hangat
seperti awal pembicaraan kami gagal total. Yang terdengar setelah itu hanya deraian
tawa sumbang darinya dan isak tangis monoton dari mulutku. Suasana masih
semenegangkan sebelumnya.
“Aku nggak mau kehilangan ka—
“Kamu nggak akan kehilangan
aku.” Dia memotong ucapanku. Kini sepasang manik birunya menatap dalam-dalam ke
mataku. Tidakkah dia tahu bahwa perasaanku kepadanya tidak seperti yang dia
bayangkan? Tidakkah dia tahu perasaanku sudah lebih dari seharusnya? Tidakkah
dia tahu aku jatuh cinta kepadanya? Aku lupa, aku belum memberi tahunya.
“Aku sayang sama kamu,
Haru.”
Haru memegang pundakku dan
meremasnya. Seulas lengkungan manis yang selalu aku sukai terukir di bibirnya.
“Aku juga sa—
“Bukan sayang yang kamu
anggap selama ini. Sayang aku ke kamu itu lebih dari itu. Aku cinta sama kamu.”
Aku memotong ucapannya sambil menghempaskan tangannya dari bahuku, air mataku
mengalir makin deras. Seulas senyum yang tadi mengembang di bibirnya langsung
berubah menjadi garis datar. Dapat kurasakan, mata biru itu kini menatapku
tidak percaya walau aku tidak menatapnya. Keberanianku tidak cukup untuk
melakukan itu.
Tidak ada kata-kata yang
keluar dari mulut kami setelahnya. Haru langsung bangkit dan membereskan
beberapa peralatan menggambarnya dari perpustakaan pribadi milik keluargaku.
Aku hanya menangis di tempatku dengan laptop masih di pangkuanku.
“Aku pulang.”
Itu kalimat terakhir yang
diucapkannya. Setelah itu dia tidak pernah berbicara kepadaku lagi. Hubungan
kami berantakan. Seperti yang kutakutkan. Saat bertemu di sekolah kami hanya
mengabaikan satu sama lain, tidak ada yang berani menyapa lebih dulu. Mungkin
Haru masih marah dan tidak menyangka aku akan berkata seperti itu. Aku tahu,
ini salahku karena mengatakannya tiba-tiba dan sangat mengagetkan bagi Haru.
Ketakutanku yang kedua
terjadi. Kami berubah. Semuanya berubah.
Bahkan sebelum Haru pergi
ke Jepang kedua ketakutanku sudah hadir semua. Betapa indahnya drama ini, dua
hal yang berusaha kuhindari sebisanya justru datang sekaligus. Dia sudah tidak
selalu ada untukku dan hubungan kami tidak sama lagi. Sekali lagi, semuanya
berubah.
Haru, apa kamu semarah itu
kepadaku?
Aku berusaha menganggap
tidak ada apa-apa sebelumnya. Kegiatanku di luar kubuat sepadat mungkin. Jadwal
bimbingan belajarku di luar kuperbanyak. Kerajinanku ikut kegiatan
ekstrakurikuler majalah dinding sekolah meskipun berkali-kali diperingatkan
karena aku sudah kelas dua belas semakin menanjak naik. Aku tidak perduli lelah
atau apa pun, hanya berusaha mencari kegiatan agar tidak terus memikirkan Haru.
Tugas-tugasku berkali-kali selesai malam itu juga, ketika pagi harinya diberikan.
Sayangnya setelah ujian nasional aku kehilangan semua kesibukanku. Aku menjadi
lebih parah sebelum ada kesibukan-kesibukan itu.
Tujuan dari kesibukkanku
yang luar biasa itu selain berusaha agar tidak memikirkan Haru adalah supaya
ketika di atas tempat tidur aku bisa langsung terlelap. Tapi tidak selalu
berhasil juga, kadang semalam suntuk aku tidak tertidur karena menangis
mengingat hubunganku dan Haru sekarang. Aku sangat merindukan Haru-ku yang
dingin di luar lalu tiba-tiba berubah menjadi konyol dan hangat ketika hanya
berdua denganku. Aku merindukan gambarannya. Aku merindukan keberadaannya di
ruang sekertariat majalah dinding sambil mengarsir gambaran buatannya. Saking
merindukannya, setiap melihat foto kami berdua di nakas sebelah ranjangku tangisku
akan pecah. Awan badai langsung memporak-porandakan hatiku.
Haru, aku merindukanmu.
***
Hari ini hari keberangkatan
Haru ke Jepang. Setelah hari ini aku benar-benar tidak akan melihatnya. Aku
benar-benar kehilangannya. Dan hanya Rin yang mengusap punggungku ketika aku
bersedih. Haru akan berada di tempat yang jauh sana. Benar-benar jauh dariku.
Aku tidak lagi bisa mengagumi mata biru tuanya dan senyuman yang selalu kusukai
itu.
Sejak pagi tadi aku sama
sekali tidak keluar dari kamarku. Terlalu takut untuk menghadapi apa yang akan
terjadi. Tangisku sudah pecah sejak malam tadi, ketika semua orang lelap dalam
buaian mimpi masing-masing. Aku tidak ingin Haru pergi, aku ingin dia di sini
saja dan terus di sampingku.
“Gea, kamu nggak nganter
Haru ke bandara?” Suara bunda dari balik pintu membuat isakku mereda sejenak.
“Nggak usah, Bun.” Aku
menolak halus-halus tawaran itu dengan suara yang sengau dan parau, tentu saja
setelah menangis semalaman. “Kalau Bunda mau nganter, Gea titip salam
aja.” Tolong katakan terima kasih juga, Bun, buat senyuman dan
segalanya yang bisa Gea suka dari dia. Kudengar langkah kaki bunda menjauh dari pintu. Kuharap dia
mengerti bahwa aku habis menangis semalaman.
Setelahnya tangisku pecah
lagi. Haru sungguh-sungguh akan berangkat, bahkan tanpa pernah berbicara lagi
kepadaku setelah insiden di perpustakaan pribadi milik keluargaku. Lebih
teganya lagi aku tahu hari ini hari keberangkatannya juga dari ibuku, bukan
dari mulutnya langsung. Haru…tidakkah kamu sadar kalau aku tidak ingin kamu
pergi?
“Gea…” Kudengar lamat-lamat
namaku disebut di sela isakku tadi. Aku langsung diam dan menyembunyikan
kepalaku ke dalam selimut. Siapa itu? Dalam hati aku berharap itu Haru, ah,
seharusnya aku tidak berharap itu Haru. Pasti sekarang pemuda itu sedang sibuk
dengan barang-barangnya. Langsung kuenyahkan jauh-jauh harapan itu. “Gea…”
Panggilan itu menjadi lebih keras. Itu suara Rin.
“Rin?” tanyaku sambil
bergerak untuk duduk.
“Ini aku, Rin, Gea. Buka
pintumu. Ada sesuatu yang harus kuberitahu.”
Mengetahui Rin yang ada di
balik pintu cokelat kokoh itu aku langsung bangkit untuk membukanya. Hanya Rin
yang paham tentang perasaan ini. Masa bodoh dengan sesuatu yang akan dia
beritahu—kecuali pemberitahuan tentang Haru yang tidak jadi pergi—yang penting
sekarang ada seseorang yang bisa kupeluk dan menenangkanku.
“Rin.” Aku langsung
melingkarkan lenganku di lehernya ketika membuka pintu dan mulai menangis.
Sudah sejak semalam aku ingin memeluk seseorang dan bercerita segalanya tentang
kegundahan perasaanku karena kepergian Haru. Meski aku sudah tahu sejak
jauh-jauh hari aku merasa sangat terpukul di hari kepergiannya.
Rin hanya membalas
pelukanku dan mengelus punggungku pelan. “Ge, ada sesuatu penting yang Haru
kasih buat kamu.” Mendengar nama Haru di sebut aku langsung menghentikan isak
tangisku. “Haru kasih kamu sesuatu. Tadi dia meneleponku dan memintaku ke
rumahnya.” Gadis berambut hitam sebahu itu lalu melepaskan pelukannya padaku.
Ia melangkah masuk ke dalam kamarku dan duduk di kasurku.
Aku hanya mengikutinya
setelah menutup pintu. Kulihat Rin lalu mengeluarkan sebuah kotak berwarna
biru, warna kesukaanku, yang cukup besar dan memberikannya kepadaku. Kuterima
tanpa banyak tanya.
“Itu dari Haru. Katanya dia
titip ke aku karena takut kamu masih marah sama dia.”
Astaga, dia kira aku yang
marah?
Kurasa dia salah, bukankah
dia yang waktu itu pergi dari rumahku dan tidak pernah lagi mengajakku
berbicara. Pelan-pelan kubuka kotak itu tanpa banyak kata-kata lagi. Di dalam
sana ada sebuah lonceng angin khas Jepang. Fuurin. Kuangkat
lonceng itu dan memperhatikannya lekat-lekat. Mulai dari tabung yang terbuat
dari kaca dan gambar burung-burung biru, lalu bergerak ke logam bola di atas
tabung yang akan menyentuh tabung itu sendiri jika kertas di bawahnya bergerak
dihembus angin, dan yang terakhir kertas bergambar laut dengan kutipan di
belakangnya.
“Care to little, you
lost them. Care to much, you get hurt.”
Kuletakkan lagi lonceng itu
ke dalam kotak lalu membaca surat yang disertakan dalam kotak itu.
Hai, Gemini.
Apa kamu sekarang sedang
marah minta kupanggil “Gea”? Kurasa jawabannya pasti ‘ya’, karena kamu masih
marah padaku, kan? Aku minta maaf kalau waktu itu pergi begitu saja. Aku hanya
benar-benar kaget. Kekagetanku karena pemberitahuan ayah pada malam harinya dan
kesedihanku karena harus meninggalkanmu masih belum benar-benar hilang, lalu
kudengar kamu menyatakan perasaan. Beberapa situasi mendesakku berpikir keras
secara sekaligus. Aku tidak sanggup.
Pertama,aku minta maaf
kalau pada akhirnya hanya mengatakan salam perpisahan kepadamu lewat surat. Aku
belum siap bertemu denganmu. Aku belum siap mengakui kepecundanganku di
depanmu. Kamu tahu? Selama ini aku juga diam-diam jatuh cinta kepadamu. Aku
merasa begitu memalukan di hadapanmu, aku berani mencintaimu begitu dalam tapi
tidak pernah berani mengatakannya di depanmu.
Kedua, kumohon jagalah
lonceng angin ini. Dengarkan bunyinya saat angin membuatnya berdenting, maka
kamu akan ingat aku menyayangimu dan janjiku untuk kembali. Aku berjanji akan
kembali, Gea. Tolong, setelah ini kamu harus menjalani hidup apa adanya. Move
on. Tidak, tidak harus melupakan perasaanmu karena aku juga berharap
begitu. Kamu hanya perlu menerima apa yang sudah terjadi dan meneruskan
hidupmu. Seperti kata Erza Scarlet, “Moving on doesn’t mean you forget
about things. It’s just means you have accepted what happened and continue
living.”
Ketiga, selamat kamu sudah
diterima di perguruan tinggi negeri di Fakultas Sastra dan Bahasa tanpa tes.
Semoga kuliahmu sukses. Jangan heran begitu, biar aku tidak mengajakmu
berbicara aku masih tetap mencari tahu kabarmu.
Dari yang
akan selalu merindukanmu
Yoshida
Haru
Beberapa bagian di surat
itu basah oleh air mataku. Aku tidak tahu ini air mata bahagia atau kesedihan
seperti tadi. Yang aku tahu sekarang adalah aku akan menunggu Haru.
Setelah itu aku menangis
bahagia di pelukan Rin. Kuharap Haru akan benar-benar menepati janjinya.[]
[1] Kutipan dari Gajeel Redfox, Fairy Tail.
[2] Aku mencintaimu [jp]
0 comments:
Posting Komentar