Apa Kabar, Ran?
Oleh : Refa Annisa
Oleh : Refa Annisa
Aku ingat saat itu. Saat kali pertama kami bertemu dan saling
menyapa, sebelum sebuah perasaan tumbuh di benakku. Sebenarnya tidak
benar-benar saling menyapa. Sebelumnya kami menabrak satu sama lain, dia
menabrakku lebih tepatnya.
“Ah, gomennasai![1]”
katanya kali itu sambil membungkukkan badan. Aku tidak menyadari ucapannya yang
itu karena setelahnya dia berbicara dalam bahasa Indonesia. “Ah, maaf. Aku
tidak sengaja.”
Aku hanya menyunggingkan seulas senyum dan memaklumi itu. “Tidak
apa-apa,” lalu kuambil buku sketsa yang terjatuh, “ dan ini milikmu.
Hati-hati.” Waktu itu sama sekali aku tidak menduga banyak hal yang menyatukan
kami. Mulai dari berada di kelas yang sama, sama-sama menjadi murid yang
dikucilkan, menjadi sama-sama orang yang menyukai matahari terbenam di pantai,
dan mungkin masih banyak lagi, aku tidak bisa menyebutkannya di sini. Terlalu
banyak. Ya, kenangan dengan gadis itu selalu kuingat semua. Yang hilang selalu
berusaha kugali. Aku tidak ingin melupakan kisah tentang gadis asing misterius
yang kucintai diam-diam.
Bahasa Indonesianya kali itu sungguh buruk. Beberapa kosa kata
bahasa Jepang yang sedikit kupahami muncul beberapa kali dalam kata-katanya
yang mengakui bahwa ia tersesat, di mana akhirnya aku memutuskan untuk menjadi
teman dekatnya selain karena sekelas juga karena sama-sama dikucilkan dengan
tabiat kami yang lumayan buruk—aku yang sering membolos dan Ran yang dikenal
cukup sombong meski kenyataannya dia hanya terlalu pendiam dan menutup diri.
Ah, bahkan saat itu aku memperkenalkan diri dengan bahasa dari tempat lahirnya,
dan dia dengan bahasa Indonesia. Aksennya terdengar aneh, tapi lama-lama itu
justru menjadi alunan yang cukup menyenangkan untuk didengar oleh telingaku berpadu-padan
dengan suaranya yang lembut meski terdengar sedikit cempreng jika berbicara
dalam bahasa Jepang—sayangnya gadis itu jarang sekali membuka mulut.
Ya, dia sangat pendiam. Awalnya kukira dia terlalu banyak diam
karena penguasaan kosa kata bahasa sIndonesianya yang minim, sehingga bingung
sesuatu yang akan dikatakannya. Tapi ternyata dia memang sangat pendiam dan
menutup diri. Tidak mau berbagi permasalahannya kepada orang lain. Bahkan
ketika sekelompok gadis dari geng kampungan di kelas kami melabraknya karena
menganggap dia terlalu sombong, dia hanya diam dan menangis setelahnya. Kala
itu dia menangis sambil memeluk lenganku dan kepalanya disandarkan ke bahuku.
“Leo, cuma kamu teman saya di sini, cuma kamu yang paham siapa
saya,” katanya lemah dengan air mata yang masih terus luruh membasahi lengan
hem putihku. Hari itu aku menemaninya di atap sekolah sampai sore, sampai gadis
itu meyakinkanku kalau dia sudah lega.
Walaupun mungkin aku belum menjadi seseorang yang cukup
dipercayanya saat itu, setidaknya aku bahagia karena dia sudah menganggapku
lebih dekat dengannya daripada siapa pun di sekolah ini. Itu sudah lebih dari
cukup untukku.
“Cerita aja. Semuanya. Aku siap mendengarkan kalau kamu butuh.” Aku
tidak mengharap sesuatu yang lebih, sungguh, walaupun aku juga ingin. Aku hanya
meyakinkannya saja bahwa aku siap mendengar cerita apa saja darinya. Sesampah
apa pun itu. Selama aku berguna untuknya, tong sampah pun bukan peran yang
buruk.
Dia hanya mengangguk ringan di lenganku. Tidak ada respon lain
terhadap perkataanku.
Dia selalu begitu, lebih memilih untuk menyimpannya sendiri. Terkadang aku
kesal dengan keputusan itu. Apa, sih, masalahnya
menceritakan masalah kepada orang lain? Bukankah dia justru akan merasa lega
karena unek-uneknya sudah keluar, tidak lagi tertahan di tenggorokan dan tidak akan membuat kepalanya pusing karena menahan itu semua? Perkara
bahasa? Aku tidak keberatan kalau dia menggunakan bahasa isyarat di sana sini.
Atau mungkin belum cukup tenang? Entahlah, tidak pernah aku berhasil menebak
hal seperti apa yang ada di balik tempurung kepalanya. Aku menyerah kalau sudah
tentang itu. Gadis itu selalu misterius. Padahal, andai dia tahu, sebenarnya
aku hanya ingin berguna di sisinya. Aku hanya ingin menjadi seseorang yang
selalu ada ketika dia butuh.
Jika banyak gadis yang begitu ekspresif dan cerewet tidak bisa
diam, maka Ran sama sekali bukan sejenis mereka. Gadis satu itu selalu diam dan
penuh rahasia. Kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya sesuatu yang penting,
aku tahu itu. Seperti cerita yang dituturkannya siang itu, kala kami membolos
di perpustakaan. Saat itu kami sudah ada di penghujung kelas sebelas. Aku tidak
percaya Ran baru menceritakan masa lalunya setelah hampir setahun kami bersama.
Sejauh ini kami sama sekali tidak pernah menyinggung masa lalunya, bagaimana
hidupnya dulu di Jepang, dan sebagainya. Kami hanya mengobrolkan apa yang ada
saat ini dan beberapa candaan yang merenyahkan suasana.
“Hari itu aku senang sekali.” Dia memulai cerita sambil menaikkan
kaki ke kursi dan memeluknya. Matanya yang cokelat menatap ke langit-langit
perpustakaan. Aku hanya memperhatikannya tanpa membuka mulut sedikit pun,
karena aku tahu, Ran hanya bercerita sesuatu yang menurutnya penting. “Sakura
sedang mekar sempurna, dan aku memaksa Ryu untuk pergi ke taman. Aku selalu
suka ketika bunga merah muda itu mekar sempurna.” Kulihat kedua pipinya yang
putih langsung bersemu merah muda ketika dia menyebut nama itu. Oh, apakah kali
ini dia akan bercerita tentang seseorang yang dicintainya di negeri matahari
terbit sana? Semoga aku cukup kuat. Ah, aku memang harus kuat mendengarkannya.
Lagi pula, di sini memang hanya aku yang bisa mendengarkan cerita dari Ran.
Bukan siapa pun.
Lalu sinar yang tadi berbinar di matanya tiba-tiba hilang. Jujur
saja, kali itu Ran cukup ekspresif. Tapi tetap saja belum cukup bagiku untuk
menebak apa kelanjutan dari ceritanya. Memang benar, kan, dia adalah gadis
misterius yang sulit ditebak. Dan kemisteriusannya itu yang membuatku cukup
penasaran hingga akhirnya aku jatuh cinta kepada dirinya.
“Tapi aku salah. Seharusnya aku menurut Ryu yang tidak mau pergi ke taman.” Matanya sudah mulai berkaca-kaca. Lalu, apa yang terjadi? Aku berusaha menebak-nebak ke arah mana cerita yang Ran tuturkan. “Sore itu mendadak jadi sore yang tragis.” Suaranya bergetar dan dia membenamkan wajah di kedua lengannya yang memeluk lutut. Isakannya cukup keras meski telah ditahannya.
“Tapi aku salah. Seharusnya aku menurut Ryu yang tidak mau pergi ke taman.” Matanya sudah mulai berkaca-kaca. Lalu, apa yang terjadi? Aku berusaha menebak-nebak ke arah mana cerita yang Ran tuturkan. “Sore itu mendadak jadi sore yang tragis.” Suaranya bergetar dan dia membenamkan wajah di kedua lengannya yang memeluk lutut. Isakannya cukup keras meski telah ditahannya.
Melihatnya begitu, aku langsung memeluk dan membelai punggungnya pelan. Tampaknya
dia tidak sanggup cerita bagian ini. “Tenangin dulu diri kamu, baru lanjut
cerita.” Ran menatapku sekilas dengan seulas senyum dan mata yang masih terus
berlinang air mata. Aku membalas tatapannya dan tersenyum. Rasanya cukup sakit,
ketika aku melihat seseorang yang kucintai justru menangis karena mengenang
tentang orang lain.
“Sore itu sebuah kecelakaan terjadi. Seharusnya aku yang ada di
posisi itu.” Ran menarik napas dalam-dalam sambil menggigit bibirnya. “Ryu
menyelamatkanku ketika motor dengan kecepatan tinggi itu hampir menghantam
tubuhku…dan dia yang akhirnya tertabrak. Dia meninggal di perjalanan ke rumah
sakit.” Setelah itu aku dapat mendengar Ran menahan tangisnya kuat-kuat.
Menahan teriakannya. “Sejak saat itu aku merasa harapanku hilang. Seseorang
yang selalu menggenggam tanganku mendadak pergi entah ke mana.”
Melihatnya begitu, tanpa pikir panjang aku langsung merengkuh gadis
itu ke dalam pelukanku. Pelan-pelan kubelai rambut cokelatnya yang sampai ke
punggung. “Ran, kamu nggak usah merasa bersalah gitu. Ryu melakukannya supaya
kamu selamat,” aku juga akan melakukan
itu andai ada di posisinya. “Kamu jangan menyalahkan diri terus. Juga
jangan kehilangan harapan. Ryu melakukannya supaya kamu bisa meneruskan
harapanmu.”
Ran membalas pelukanku. Sangat erat. Aku tahu dia masih menangis,
karena bahuku pun basah oleh lelehan butiran bening dari matanya itu.
Lamat-lamat aku mendengar ucapan terima kasih di sela isakannya. Aku hanya
tersenyum mendengar itu. Setidaknya aku tahu, keberadaanku Ran butuhkan meski
hanya sebagai sandaran. Hanya itu memang, tapi aku sudah cukup bahagia. Karena aku bisa ada saat
dibutuhkan, walau kelihatannya dia lebih membutuhkan Ryu yang selalu
menggenggam tangannya. Tidak apa-apa, menjadi bukan siapa-siapa selama masih
ada di sisinya dan ada saat dia butuhkan. Itu sudah cukup.
Sejak saat itu aku selalu bertanya, apakah diamnya Ran sebagai
tameng menyembunyikan kesedihannya? Kalau benar, berarti dia cukup hebat. Sebab
aku saja tidak pernah menyangkan kalau dia menyimpan cerita tentang orang yang
(sepertinya) dia cintai semenyedihkan itu. Mungkin dia masih memiliki banyak
kisah menyedihkan lain. Hanya saja itu semua mungkin tersimpan rapat-rapat
dalam diamnya.
Dan sejak saat itu pula, aku berjanji untuk menjaganya. Menjadi
seseorang yang mungkin akan menggenggam tangannya menggantikan Ryu. Menjadi
sesuatu yang menutup lubang luka di dalam hatinya. Meski Ryu mungkin masih
berdiri dengan tegaknya di depan pintu hati Ran. Aku tidak perduli.
***
Rasanya menyimpan sesuatu sendiri itu tidak enak. Tidak ada yang
bisa ikut menikmati, padahal sesuatu akan terasa jauh lebih berarti ketika kita
sudah membaginya dengan orang lain.
Hal yang berlaku juga dengan perasaanku kepada Ran. Perasaan ini
hanya kusimpan diam-diam tanpa diketahui oleh siapa pun. Hanya aku yang tahu
betapa sakitnya ketika melihat Ran bersedih, betapa bahagianya ketika aku bisa
menjadi seseorang yang selalu ada di sisinya, dan betapa aku merasa bersyukur
bisa terus menjaganya.
Kalau ada yang tahu perasaan ini selain aku, pastilah itu teru-teru bozu[2]
yang Ran buatkan untukku waktu itu, ketika aku berjanji mengajaknya menyalakan
kembang api di malam tahun baru. Katanya supaya tidak hujan. Boneka yang mirip
dengan tokoh utama serial Hantu Casper itu cukup sering kuceritakan perasaanku
dengan Ran. Hanya dengannya aku berani membuka diri. Hahaha, aku sudah gila
ternyata mengajak hantu penangkal hujan itu berbicara. Lebih tepatnya aku gila
karena terus menyimpan perasaan kepada Ran sendirian.
Memangnya siapa entitas yang bisa kuajak bercerita panjang lebar?
Hanya Ran. Aku tidak punya teman dekat selain gadis itu, dan teru-teru bozu tentunya. Terkadang aku ingin bercerita kepada seseorang. Sekali lagi, siapa yang akan mendengar? Ran? Ingat, Ran belum memberi tanda Ryu
sudah dilupakannya. Belum datang waktu yang tepat. Tunggu. Hal yang harus
kulakukan dengan perasaan ini.
Tapi sampai kapan aku harus menunggu? Kapan aku akan mendapat
kepastian darinya? Semua masih abu-abu. Aku bahkan tidak berani menjamin
berhasil memasuki pintu hati Ran dengan mudahnya. Keyakinanku tidak menembus
tiga per lima dari kemungkinan berhasil menyembuhkan luka masa lalu Ran yang
Ryu timbulkan. Terlalu sulit mendobrak masuk ke dalam hati orang yang masih
terluka karena masa lalunya. Pagar yang membatasinya bahkan hanya bisa dibuka
dari dalam, oleh hati yang dilindungi pagar itu sendiri. Terlalu beresiko untuk
dipaksa terbuka.
Terkadang bercerita pada teru-teru bozu yang tergantung di kusen jendela kamarku memang melegakan, tapi aku juga jengah hanya bercerita kepada boneka putih itu. Kadang pula sering muncul keinginan untuk mengatakannya. Tapi setiap mengingat diamnya aku juga hanya bisa diam. Hingga aku akhirnya berusaha mengungkapkan perasaanku secara tidak langsung.
Terkadang bercerita pada teru-teru bozu yang tergantung di kusen jendela kamarku memang melegakan, tapi aku juga jengah hanya bercerita kepada boneka putih itu. Kadang pula sering muncul keinginan untuk mengatakannya. Tapi setiap mengingat diamnya aku juga hanya bisa diam. Hingga aku akhirnya berusaha mengungkapkan perasaanku secara tidak langsung.
“Ran, seandainya ada yang suka kamu, apa yang bakal kamu lakukan?”
Sejenak Ran menatapku. Mata kami bertemu. Dan seketika aku gugup. Oh, memang apa yang harus kukhawatirkan?
Semua akan baik-baik saja, bahkan setelah aku mendengar respon buruk dari Ran. Aku
berusaha meyakinkan diriku bahwa aku tidak akan depresi meski Ran akan
mengatakan dia lebih mengharapkan Ryu kembali. Intinya aku sudah siap dengan
semua jawaban Ran terhadap pertanyaan itu, pengecualian jika dia ternyata
menolakku. Aku masih bingung apa yang harus kulakukan jika kudengar dengan telingaku
sendiri tentang kabar penolakkannya.
“Tidak ada yang perlu kulakukan. Hanya saja jika aku juga
menyukainya, itu berarti kabar baik.”
Setelah mendengar itu aku hanya mengangguk-angguk saja meskipun di
dalam hati bingung apa yang harus kulakukan untuk selanjutnya. Aku tidak tahu
perkataannya tergolong ke kabar yang mana.
Errr, itu kabar baik atau kabar buruk? Mungkin baik kalau Ran juga memiliki perasaanku dan tidak buruk juga jika gadis bersurai cokelat sepunggung itu tidak ada perasaan apa pun.
Errr, itu kabar baik atau kabar buruk? Mungkin baik kalau Ran juga memiliki perasaanku dan tidak buruk juga jika gadis bersurai cokelat sepunggung itu tidak ada perasaan apa pun.
Tapi, apa semuanya akan baik-baik saja jika aku menyatakan perasaan
kepada gadis itu? Aku hanya takut dia tidak menepati omongannya. Hal yang
sangat buruk jika Ran justru menjauhiku. Artinya aku tidak bisa terus
menjaganya seperti janjiku. Aku kembali mengurung keinginanku untuk menyatakan
perasaanku. Terkadang bertahan lebih baik daripada menyerang tapi gagal.
***
Sore itu aku tidak mengira akan mendapat kabar itu. Kabar yang
sebenarnya tidak terlalu buruk jika kamu yang mendengarnya, bahkan mungkin juga
kamu akan menganggap kabar ini adalah kabar baik untuk Ran.
“Setelah lulus ini aku akan pulang ke Jepang.”
Angin sepoi di pantai sore itu mendadak terasa berisik sekali di
telingaku. Desis-desis orang bersahut-sahutan di belakang kami mendadak lenyap
entah ke mana. Tatapan mataku hanya ke mata cokelat Ran yang menerawang jauh ke
laut lepas sana. Saat itu, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dan apa yang
ingin kulakukan. Aku hanya tahu kami pasti berpisah, karena aku sudah pasti
hanya akan kuliah di sini. Tidak untuk keluar negeri.
Sudah jelas, keputusannya sudah mutlak. Tidak bisa kutahan lagi. Memang apa yang bisa kulakukan
untuk membuat gadis itu menetap di sini? Kelihatannya pun dia akan pergi ke
sana tanpa ada beban tampak terukir di lekukan-lekukan wajah
oriental khas Asia Timurnya.
“Oh, tidak buruk. Kau akan lanjut kuliah di sana?” Hanya sedikit
basa-basi, walaupun kelihatannya sangat penting. Aku tidak perduli dengan yang
mungkin akan kami bahas setelah ini, tentang bangku perkuliahan, perguruan
tinggi, universitas, atau apalah yang akan kami masuki setelah ini. Yang
kurasakan saat ini hanyalah harapanku yang mendadak hilang. Seseorang yang
tadinya menggenggam harapan itu tinggi-tinggi untuk kuraih tiba-tiba membuatnya
menghilang tanpa bekas. Tidak membiarkanku meraihnya dengan tanganku sendiri.
Hanya dalam hitungan minggu mungkin Ran akan terbang ke negeri sakura itu,
meninggalkanku sendiri di sini. Bersama harapan yang menghilang,
harapanku tentang balasan sebuah sebuah perasaan dari gadis yang kucintai
diam-diam sejak satu tahun lalu.
Ran menatapku sekilas dan mengukirkan sebuah senyuman sebelum
mengangguk lalu kembali menatap ke arah yang kini kilau airnya mulai menyentuh
bagian pinggir matahari senja. Oh, air laut itu akan menelan matahari, seperti
harapanku yang tertelan tanpa sisa. “Aku sudah merasa lebih baik ada di sini
satu tahun, Leo. Mungkin sekarang udah waktunya, buat aku menghadapi masa
laluku. Kesedihanku saat melihat hana
fubuki.” Kaki Ran mulai melangkah menyentuh ombak-ombak yang mampir ke
pasir yang hendak pulang ke laut asalnya. “Sudah waktunya aku tidak menghindari
masa lalu yang berlalu. Aku harus kembali mengejar harapanku demi Ryu yang
menyelamatkanku, seperti katamu. Aku menepati cita-cita yang dulu selalu
kuelu-elukan di depan Ryu.”
“Lakukan yang terbaik menurutmu, ikuti kata hatimu. Jangan anggap
itu semua kamu lakukan demi seseorang, demi aku, atau pun Ryu, tapi demi
keinginan dari hati nurani kamu. Seseorang yang mencintaimu—siapa pun itu—pasti
akan bahagia jika kamu bahagia,” seperti aku yang akan bahagia jika kamu
menyukai pilihanmu, “dan mereka pasti selalu ada di masa terburukmu. Mereka
akan selalu ada di sini,” aku menunjuk ke dadaku. “Kokoro. Di sanalah kehidupanmu berasal.” Aku harap kata-kata itu
akan disimpannya sampai di Jepang nanti. Juga, kuharap dia tidak akan lupa
denganku, teman di masa sulitnya saat berusaha bangkit dari kesedihan masa
lalu. Jelas bukan tentang seseorang yang mencintainya diam-diam. Meski tahu
kepergiannya hanya menghitung minggu, aku belum terpikir untuk menyatakan
perasaan itu. Aku takut jika menyatakan perasaan justru hanya akan membuatku
merasa semakin berat untuk melepasnya.
“Terima kasih, Leo, untuk semuanya,” kata Ran sambil memelukku
erat-erat. Langsung kubalas pelukan terima kasih itu erat-erat. Oh, kalau boleh
tidak ingin kulepaskan, karena sejujurnya aku tidak ingin gadis ini pulang ke
negeri asalnya. Tapi, apa boleh buat, sudah kukatakan tadi, kan, kalau
keputusannya sudah tampak sangat mantap? Menahannya? Siapa aku? The things that I need do are accepted what
happened and continue living.
“Kembali, Ran.” Terima kasih juga untuk perasaan mencintai ini, terutama kenangan dan pelajaran menyimpan perasaan dalam diam. “Jangan lupa
denganku kalau sudah di sana.” Tenang, kamu tidak perlu memintaku untuk tidak
melupakanmu, Ran. Aku akan selalu mengingat, seorang gadis pendiam yang
kemisteriusannya sanggup membuatku jatuh cinta. Tapi kemisteriusannya jugalah
yang membuat nyaliku mengkerut tidak berani menyatakannya. Sesuatu yang
kaupikirkan selalu abu-abu, tak pernah berhasil kutebak dengan baik.
“Aku tidak akan melupakanmu, Leo.” Dia lalu melepaskanku. Tolong,
yakinkan aku bahwa waktu bisa diulang, aku takut kehilangan gadis misterius
yang selalu ada di sisiku. Aku takut tidak ada lagi yang mengerti diriku
seperti dia. Aku takut tidak ada lagi seseorang yang mau mendengarkanku tanpa
banyak protes, aku takut tidak ada lagi yang memahami apa yang aku inginkan,
intinya…aku takut seseorang yang paling mengerti diriku, Ran, akan pergi dan
akhirnya aku kembali sendiri. Seperti sebelum gadis itu menabrakku dan meminta
maaf dengan bahasa Jepang sepaket dengan bungkukkannya.
Sore hari itu kami habiskan senja bersama, tetap dengan jati diri
masing-masing. Aku masih dengan perasaan yang kusimpan rapat-rapat untuk Ran,
dan Ran dengan kemisteriusannya yang tak pernah berhasil kupahami dengan baik.
Kami tipe orang yang berbeda, tapi sama-sama
didewasakan oleh waktu. Waktu yang mengajari kami untuk menerima apa
yang telah terjadi dan terus berjalan melanjutkan hidup. Kami, dua orang yang
sama-sama belajar untuk melepaskan demi kebaikan orang yang dilepaskan.
***
Kalau dikenang, masa itu sudah hampir tiga tahun yang lalu. Tentang
kisah kasih di sekolah masa SMA. Aku percaya jika banyak orang mengatakan masa
itu adalah masa-masa yang cukup membekas dalam ingatan. Di masa itu aku belajar
untuk menyimpan sesuatu dengan baik, aku belajar menyimpan perasaanku terhadap
seorang gadis secara rapat-rapat. Di masa itu pula kurasakan tangan waktu
membantuku naik ke tangga kedewasaan, di mana aku mulai belajar mengikhlaskan
kepergian seseorang demi kebaikannya, sama seperti di saat aku tidak lagi
menangis ketika ada seseorang merebut mobil-mobilan kesayanganku lalu berpikir
di tangannya mainan itu akan lebih berguna.
Sebuah senyum langsung terulas ketika aku mengingat masa-masa itu.
Aku memang sudah mengikhlaskannya untuk pergi ke Jepang dan terus melanjutkan
hidupku di Indonesia. Itu memang sudah lama sekali, tapi ternyata rasa jatuh
cinta diam-diam itu masih ada. Hatiku belum memilih wanita lain. Dia masih
tetap setia dengan yang ada di seberang sana meski tidak pernah bertemu lagi,
Ran Yamasaki.
Ah, apa kabar dia di sana? Mungkinkah sekarang dia jauh lebih
bahagia daripada ketika masih di Indonesia denganku? Kuharap begitu. Bukankah
dia sendiri juga berangkat ke sana demi meraih cita-citanya, demi
kebahagiaannya? Aku yakin dia bahagia, karena aku percaya dengan janjinya untuk
meraih cita-citanya dan bahagia dengan cita-citanya itu. Aku percaya dia akan
menepati janjinya.
Lalu, apa lagi yang bisa kukatakan tentang gadis misterius itu?
Selama ini dia selalu ada di salah satu sisi hatiku. Dia selalu berada di sana,
terus berdiri tegak meski banyak badai yang menghadang. Meski banyak sekali
kisah suka duka yang hatiku terima. Karena sosok itulah yang terkadang
memotivasiku. Dengan diamnya yang profesional, meski sedih tapi dia tidak
mengumbarnya, tidak berusaha mengiba dengan kesedihannya. Dia selalu berusaha
untuk terlihat sekuat baja meski hatinya tidak lebih kuat dari besi yang
teroksidasi. Aku sering kagum sendiri dengan caranya
Waktu itu, waktu ketika Ran mengatakan akan pulang ke Jepang,
sebenarnya aku sudah menentukan pilihan. Masuk ke perguruan tinggi negeri lewat
jalur tanpa tes. Aku sudah memutuskan untuk mengambilnya jauh-jauh hari, bahkan
sebelum Ran menyampaikan kabar dia akan pergi ke Jepang. Tapi dengan cara itu
pula aku berusaha mendapatkan beasiswa ke Jepang pula. Dan aku berhasil
mendapatkannya.
Pesawatku baru mendarat kurang dari setengah jam yang lalu. Kini
aku masih duduk di menunggu jemputan bersama dengan beberapa mahasiswa lain yang
sama-sama mendapat beasiswa di negeri bunga sakura ini. Ran, hari ini dan beberapa waktu ke depan adalah giliranku yang berada
di negerimu. Oh, ya, aku harus mengabarinya. Mungkinkah ini akan menjadi
semacam masa lalu yang terulang lagi, tapi dengan latar belakang yang sedikit
berbeda?
To : bururan@docomo.jp
From : thelion@yahoo.com
Subject : Apa kabar, Ran?
Ran, masih ingat denganku?
Kuharap begitu. Kautahu, aku sama sekali tidak pernah lupa dengan gadis yang
dulu dianggap sebagai gadis sombong karena usahanya untuk tetap tegar di depan
teman-temannya. Ya, aku masih mengingatmu.
Apa kabar? Setelah sekian
lama kita tidak bertemu dan mengobrol, aku bingung apa yang akan aku katakan.
Bahkan aku saja jarang sekali mengirimimu surel. Oh, maafkan temanmu ini, Ran.
Omong-omong bahasa Indonesiamu masih lancar, kan? Kalau tidak, maka kamu yang
harus meminta ampun kepadaku! Hahaha.
Tapi tolong, lupakan dulu
sejenak masalah mengampuni dan diampuni, sesuatu yang lebih penting terjadi.
Aku sekarang ada di Jepang.
Aku sekarang ada di Jepang.
Bisakah kali ini kita merajut
kisah seperti ketika kamu di Indonesia tiga tahun lalu? Mau ber-hanami[3] jika
sakura mekar sempurna? Aku masih ingat, kok, kalau kamu sangat suka masa itu.
Lalu, siapakah yang harus
diampuni? Hahaha.

0 comments:
Posting Komentar