Apa Kabar, Ran? - #JCDD2

Apa Kabar, Ran?
Oleh : Refa Annisa


Aku ingat saat itu. Saat kali pertama kami bertemu dan saling menyapa, sebelum sebuah perasaan tumbuh di benakku. Sebenarnya tidak benar-benar saling menyapa. Sebelumnya kami menabrak satu sama lain, dia menabrakku lebih tepatnya.
“Ah, gomennasai![1]” katanya kali itu sambil membungkukkan badan. Aku tidak menyadari ucapannya yang itu karena setelahnya dia berbicara dalam bahasa Indonesia. “Ah, maaf. Aku tidak sengaja.”
Aku hanya menyunggingkan seulas senyum dan memaklumi itu. “Tidak apa-apa,” lalu kuambil buku sketsa yang terjatuh, “ dan ini milikmu. Hati-hati.” Waktu itu sama sekali aku tidak menduga banyak hal yang menyatukan kami. Mulai dari berada di kelas yang sama, sama-sama menjadi murid yang dikucilkan, menjadi sama-sama orang yang menyukai matahari terbenam di pantai, dan mungkin masih banyak lagi, aku tidak bisa menyebutkannya di sini. Terlalu banyak. Ya, kenangan dengan gadis itu selalu kuingat semua. Yang hilang selalu berusaha kugali. Aku tidak ingin melupakan kisah tentang gadis asing misterius yang kucintai diam-diam.
Bahasa Indonesianya kali itu sungguh buruk. Beberapa kosa kata bahasa Jepang yang sedikit kupahami muncul beberapa kali dalam kata-katanya yang mengakui bahwa ia tersesat, di mana akhirnya aku memutuskan untuk menjadi teman dekatnya selain karena sekelas juga karena sama-sama dikucilkan dengan tabiat kami yang lumayan buruk—aku yang sering membolos dan Ran yang dikenal cukup sombong meski kenyataannya dia hanya terlalu pendiam dan menutup diri. Ah, bahkan saat itu aku memperkenalkan diri dengan bahasa dari tempat lahirnya, dan dia dengan bahasa Indonesia. Aksennya terdengar aneh, tapi lama-lama itu justru menjadi alunan yang cukup menyenangkan untuk didengar oleh telingaku berpadu-padan dengan suaranya yang lembut meski terdengar sedikit cempreng jika berbicara dalam bahasa Jepang—sayangnya gadis itu jarang sekali membuka mulut.
Ya, dia sangat pendiam. Awalnya kukira dia terlalu banyak diam karena penguasaan kosa kata bahasa sIndonesianya yang minim, sehingga bingung sesuatu yang akan dikatakannya. Tapi ternyata dia memang sangat pendiam dan menutup diri. Tidak mau berbagi permasalahannya kepada orang lain. Bahkan ketika sekelompok gadis dari geng kampungan di kelas kami melabraknya karena menganggap dia terlalu sombong, dia hanya diam dan menangis setelahnya. Kala itu dia menangis sambil memeluk lenganku dan kepalanya disandarkan ke bahuku.
“Leo, cuma kamu teman saya di sini, cuma kamu yang paham siapa saya,” katanya lemah dengan air mata yang masih terus luruh membasahi lengan hem putihku. Hari itu aku menemaninya di atap sekolah sampai sore, sampai gadis itu meyakinkanku kalau dia sudah lega.
Walaupun mungkin aku belum menjadi seseorang yang cukup dipercayanya saat itu, setidaknya aku bahagia karena dia sudah menganggapku lebih dekat dengannya daripada siapa pun di sekolah ini. Itu sudah lebih dari cukup untukku.
“Cerita aja. Semuanya. Aku siap mendengarkan kalau kamu butuh.” Aku tidak mengharap sesuatu yang lebih, sungguh, walaupun aku juga ingin. Aku hanya meyakinkannya saja bahwa aku siap mendengar cerita apa saja darinya. Sesampah apa pun itu. Selama aku berguna untuknya, tong sampah pun bukan peran yang buruk.
Dia hanya mengangguk ringan di lenganku. Tidak ada respon lain terhadap perkataanku.
Dia selalu begitu, lebih memilih untuk menyimpannya sendiri. Terkadang aku kesal dengan keputusan itu. Apa, sih, masalahnya menceritakan masalah kepada orang lain? Bukankah dia justru akan merasa lega karena unek-uneknya sudah keluar, tidak lagi tertahan di tenggorokan dan tidak akan membuat kepalanya pusing karena menahan itu semua? Perkara bahasa? Aku tidak keberatan kalau dia menggunakan bahasa isyarat di sana sini. Atau mungkin belum cukup tenang? Entahlah, tidak pernah aku berhasil menebak hal seperti apa yang ada di balik tempurung kepalanya. Aku menyerah kalau sudah tentang itu. Gadis itu selalu misterius. Padahal, andai dia tahu, sebenarnya aku hanya ingin berguna di sisinya. Aku hanya ingin menjadi seseorang yang selalu ada ketika dia butuh.
Jika banyak gadis yang begitu ekspresif dan cerewet tidak bisa diam, maka Ran sama sekali bukan sejenis mereka. Gadis satu itu selalu diam dan penuh rahasia. Kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya sesuatu yang penting, aku tahu itu. Seperti cerita yang dituturkannya siang itu, kala kami membolos di perpustakaan. Saat itu kami sudah ada di penghujung kelas sebelas. Aku tidak percaya Ran baru menceritakan masa lalunya setelah hampir setahun kami bersama. Sejauh ini kami sama sekali tidak pernah menyinggung masa lalunya, bagaimana hidupnya dulu di Jepang, dan sebagainya. Kami hanya mengobrolkan apa yang ada saat ini dan beberapa candaan yang merenyahkan suasana.
“Hari itu aku senang sekali.” Dia memulai cerita sambil menaikkan kaki ke kursi dan memeluknya. Matanya yang cokelat menatap ke langit-langit perpustakaan. Aku hanya memperhatikannya tanpa membuka mulut sedikit pun, karena aku tahu, Ran hanya bercerita sesuatu yang menurutnya penting. “Sakura sedang mekar sempurna, dan aku memaksa Ryu untuk pergi ke taman. Aku selalu suka ketika bunga merah muda itu mekar sempurna.” Kulihat kedua pipinya yang putih langsung bersemu merah muda ketika dia menyebut nama itu. Oh, apakah kali ini dia akan bercerita tentang seseorang yang dicintainya di negeri matahari terbit sana? Semoga aku cukup kuat. Ah, aku memang harus kuat mendengarkannya. Lagi pula, di sini memang hanya aku yang bisa mendengarkan cerita dari Ran. Bukan siapa pun.
Lalu sinar yang tadi berbinar di matanya tiba-tiba hilang. Jujur saja, kali itu Ran cukup ekspresif. Tapi tetap saja belum cukup bagiku untuk menebak apa kelanjutan dari ceritanya. Memang benar, kan, dia adalah gadis misterius yang sulit ditebak. Dan kemisteriusannya itu yang membuatku cukup penasaran hingga akhirnya aku jatuh cinta kepada dirinya.
“Tapi aku salah. Seharusnya aku menurut Ryu yang tidak mau pergi ke taman.” Matanya sudah mulai berkaca-kaca. Lalu, apa yang terjadi? Aku berusaha menebak-nebak ke arah mana cerita yang Ran tuturkan. “Sore itu mendadak jadi sore yang tragis.” Suaranya bergetar dan dia membenamkan wajah di kedua lengannya yang memeluk lutut. Isakannya cukup keras meski telah ditahannya.
Melihatnya begitu, aku langsung memeluk dan membelai punggungnya pelan. Tampaknya dia tidak sanggup cerita bagian ini. “Tenangin dulu diri kamu, baru lanjut cerita.” Ran menatapku sekilas dengan seulas senyum dan mata yang masih terus berlinang air mata. Aku membalas tatapannya dan tersenyum. Rasanya cukup sakit, ketika aku melihat seseorang yang kucintai justru menangis karena mengenang tentang orang lain.
“Sore itu sebuah kecelakaan terjadi. Seharusnya aku yang ada di posisi itu.” Ran menarik napas dalam-dalam sambil menggigit bibirnya. “Ryu menyelamatkanku ketika motor dengan kecepatan tinggi itu hampir menghantam tubuhku…dan dia yang akhirnya tertabrak. Dia meninggal di perjalanan ke rumah sakit.” Setelah itu aku dapat mendengar Ran menahan tangisnya kuat-kuat. Menahan teriakannya. “Sejak saat itu aku merasa harapanku hilang. Seseorang yang selalu menggenggam tanganku mendadak pergi entah ke mana.”
Melihatnya begitu, tanpa pikir panjang aku langsung merengkuh gadis itu ke dalam pelukanku. Pelan-pelan kubelai rambut cokelatnya yang sampai ke punggung. “Ran, kamu nggak usah merasa bersalah gitu. Ryu melakukannya supaya kamu selamat,” aku juga akan melakukan itu andai ada di posisinya. “Kamu jangan menyalahkan diri terus. Juga jangan kehilangan harapan. Ryu melakukannya supaya kamu bisa meneruskan harapanmu.”
Ran membalas pelukanku. Sangat erat. Aku tahu dia masih menangis, karena bahuku pun basah oleh lelehan butiran bening dari matanya itu. Lamat-lamat aku mendengar ucapan terima kasih di sela isakannya. Aku hanya tersenyum mendengar itu. Setidaknya aku tahu, keberadaanku Ran butuhkan meski hanya sebagai sandaran. Hanya itu memang, tapi aku sudah cukup bahagia. Karena aku bisa ada saat dibutuhkan, walau kelihatannya dia lebih membutuhkan Ryu yang selalu menggenggam tangannya. Tidak apa-apa, menjadi bukan siapa-siapa selama masih ada di sisinya dan ada saat dia butuhkan. Itu sudah cukup.
Sejak saat itu aku selalu bertanya, apakah diamnya Ran sebagai tameng menyembunyikan kesedihannya? Kalau benar, berarti dia cukup hebat. Sebab aku saja tidak pernah menyangkan kalau dia menyimpan cerita tentang orang yang (sepertinya) dia cintai semenyedihkan itu. Mungkin dia masih memiliki banyak kisah menyedihkan lain. Hanya saja itu semua mungkin tersimpan rapat-rapat dalam diamnya.
Dan sejak saat itu pula, aku berjanji untuk menjaganya. Menjadi seseorang yang mungkin akan menggenggam tangannya menggantikan Ryu. Menjadi sesuatu yang menutup lubang luka di dalam hatinya. Meski Ryu mungkin masih berdiri dengan tegaknya di depan pintu hati Ran. Aku tidak perduli.
***
Rasanya menyimpan sesuatu sendiri itu tidak enak. Tidak ada yang bisa ikut menikmati, padahal sesuatu akan terasa jauh lebih berarti ketika kita sudah membaginya dengan orang lain.
Hal yang berlaku juga dengan perasaanku kepada Ran. Perasaan ini hanya kusimpan diam-diam tanpa diketahui oleh siapa pun. Hanya aku yang tahu betapa sakitnya ketika melihat Ran bersedih, betapa bahagianya ketika aku bisa menjadi seseorang yang selalu ada di sisinya, dan betapa aku merasa bersyukur bisa terus menjaganya.
Kalau ada yang tahu perasaan ini selain aku, pastilah itu teru-teru bozu[2] yang Ran buatkan untukku waktu itu, ketika aku berjanji mengajaknya menyalakan kembang api di malam tahun baru. Katanya supaya tidak hujan. Boneka yang mirip dengan tokoh utama serial Hantu Casper itu cukup sering kuceritakan perasaanku dengan Ran. Hanya dengannya aku berani membuka diri. Hahaha, aku sudah gila ternyata mengajak hantu penangkal hujan itu berbicara. Lebih tepatnya aku gila karena terus menyimpan perasaan kepada Ran sendirian.
Memangnya siapa entitas yang bisa kuajak bercerita panjang lebar? Hanya Ran. Aku tidak punya teman dekat selain gadis itu, dan teru-teru bozu tentunya. Terkadang aku ingin bercerita kepada seseorang. Sekali lagi, siapa yang akan mendengar? Ran? Ingat, Ran belum memberi tanda Ryu sudah dilupakannya. Belum datang waktu yang tepat. Tunggu. Hal yang harus kulakukan dengan perasaan ini.
Tapi sampai kapan aku harus menunggu? Kapan aku akan mendapat kepastian darinya? Semua masih abu-abu. Aku bahkan tidak berani menjamin berhasil memasuki pintu hati Ran dengan mudahnya. Keyakinanku tidak menembus tiga per lima dari kemungkinan berhasil menyembuhkan luka masa lalu Ran yang Ryu timbulkan. Terlalu sulit mendobrak masuk ke dalam hati orang yang masih terluka karena masa lalunya. Pagar yang membatasinya bahkan hanya bisa dibuka dari dalam, oleh hati yang dilindungi pagar itu sendiri. Terlalu beresiko untuk dipaksa terbuka.
Terkadang bercerita pada teru-teru bozu  yang tergantung di kusen jendela kamarku memang melegakan, tapi aku juga jengah hanya bercerita kepada boneka putih itu. Kadang pula sering muncul keinginan untuk mengatakannya. Tapi setiap mengingat diamnya aku juga hanya bisa diam. Hingga aku akhirnya berusaha mengungkapkan perasaanku secara tidak langsung.
“Ran, seandainya ada yang suka kamu, apa yang bakal kamu lakukan?”
Sejenak Ran menatapku. Mata kami bertemu. Dan seketika aku gugup. Oh, memang apa yang harus kukhawatirkan? Semua akan baik-baik saja, bahkan setelah aku mendengar respon buruk dari Ran. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa aku tidak akan depresi meski Ran akan mengatakan dia lebih mengharapkan Ryu kembali. Intinya aku sudah siap dengan semua jawaban Ran terhadap pertanyaan itu, pengecualian jika dia ternyata menolakku. Aku masih bingung apa yang harus kulakukan jika kudengar dengan telingaku sendiri tentang kabar penolakkannya.
“Tidak ada yang perlu kulakukan. Hanya saja jika aku juga menyukainya, itu berarti kabar baik.”
Setelah mendengar itu aku hanya mengangguk-angguk saja meskipun di dalam hati bingung apa yang harus kulakukan untuk selanjutnya. Aku tidak tahu perkataannya tergolong ke kabar yang mana.
Errr, itu kabar baik atau kabar buruk? Mungkin baik kalau Ran juga memiliki perasaanku dan tidak buruk juga jika gadis bersurai cokelat sepunggung itu tidak ada perasaan apa pun.
Tapi, apa semuanya akan baik-baik saja jika aku menyatakan perasaan kepada gadis itu? Aku hanya takut dia tidak menepati omongannya. Hal yang sangat buruk jika Ran justru menjauhiku. Artinya aku tidak bisa terus menjaganya seperti janjiku. Aku kembali mengurung keinginanku untuk menyatakan perasaanku. Terkadang bertahan lebih baik daripada menyerang tapi gagal.
***
Sore itu aku tidak mengira akan mendapat kabar itu. Kabar yang sebenarnya tidak terlalu buruk jika kamu yang mendengarnya, bahkan mungkin juga kamu akan menganggap kabar ini adalah kabar baik untuk Ran.
“Setelah lulus ini aku akan pulang ke Jepang.”
Angin sepoi di pantai sore itu mendadak terasa berisik sekali di telingaku. Desis-desis orang bersahut-sahutan di belakang kami mendadak lenyap entah ke mana. Tatapan mataku hanya ke mata cokelat Ran yang menerawang jauh ke laut lepas sana. Saat itu, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dan apa yang ingin kulakukan. Aku hanya tahu kami pasti berpisah, karena aku sudah pasti hanya akan kuliah di sini. Tidak untuk keluar negeri.
Sudah jelas, keputusannya sudah mutlak. Tidak bisa kutahan lagi. Memang apa yang bisa kulakukan untuk membuat gadis itu menetap di sini? Kelihatannya pun dia akan pergi ke sana tanpa ada  beban tampak terukir di lekukan-lekukan wajah oriental khas Asia Timurnya.
“Oh, tidak buruk. Kau akan lanjut kuliah di sana?” Hanya sedikit basa-basi, walaupun kelihatannya sangat penting. Aku tidak perduli dengan yang mungkin akan kami bahas setelah ini, tentang bangku perkuliahan, perguruan tinggi, universitas, atau apalah yang akan kami masuki setelah ini. Yang kurasakan saat ini hanyalah harapanku yang mendadak hilang. Seseorang yang tadinya menggenggam harapan itu tinggi-tinggi untuk kuraih tiba-tiba membuatnya menghilang tanpa bekas. Tidak membiarkanku meraihnya dengan tanganku sendiri. Hanya dalam hitungan minggu mungkin Ran akan terbang ke negeri sakura itu, meninggalkanku sendiri di sini. Bersama harapan yang menghilang, harapanku tentang balasan sebuah sebuah perasaan dari gadis yang kucintai diam-diam sejak satu tahun lalu.
Ran menatapku sekilas dan mengukirkan sebuah senyuman sebelum mengangguk lalu kembali menatap ke arah yang kini kilau airnya mulai menyentuh bagian pinggir matahari senja. Oh, air laut itu akan menelan matahari, seperti harapanku yang tertelan tanpa sisa. “Aku sudah merasa lebih baik ada di sini satu tahun, Leo. Mungkin sekarang udah waktunya, buat aku menghadapi masa laluku. Kesedihanku saat melihat hana fubuki.” Kaki Ran mulai melangkah menyentuh ombak-ombak yang mampir ke pasir yang hendak pulang ke laut asalnya. “Sudah waktunya aku tidak menghindari masa lalu yang berlalu. Aku harus kembali mengejar harapanku demi Ryu yang menyelamatkanku, seperti katamu. Aku menepati cita-cita yang dulu selalu kuelu-elukan di depan Ryu.”
“Lakukan yang terbaik menurutmu, ikuti kata hatimu. Jangan anggap itu semua kamu lakukan demi seseorang, demi aku, atau pun Ryu, tapi demi keinginan dari hati nurani kamu. Seseorang yang mencintaimu—siapa pun itu—pasti akan bahagia jika kamu bahagia,” seperti aku yang akan bahagia jika kamu menyukai pilihanmu, “dan mereka pasti selalu ada di masa terburukmu. Mereka akan selalu ada di sini,” aku menunjuk ke dadaku. “Kokoro. Di sanalah kehidupanmu berasal.” Aku harap kata-kata itu akan disimpannya sampai di Jepang nanti. Juga, kuharap dia tidak akan lupa denganku, teman di masa sulitnya saat berusaha bangkit dari kesedihan masa lalu. Jelas bukan tentang seseorang yang mencintainya diam-diam. Meski tahu kepergiannya hanya menghitung minggu, aku belum terpikir untuk menyatakan perasaan itu. Aku takut jika menyatakan perasaan justru hanya akan membuatku merasa semakin berat untuk melepasnya.
“Terima kasih, Leo, untuk semuanya,” kata Ran sambil memelukku erat-erat. Langsung kubalas pelukan terima kasih itu erat-erat. Oh, kalau boleh tidak ingin kulepaskan, karena sejujurnya aku tidak ingin gadis ini pulang ke negeri asalnya. Tapi, apa boleh buat, sudah kukatakan tadi, kan, kalau keputusannya sudah tampak sangat mantap? Menahannya? Siapa aku? The things that I need do are accepted what happened and continue living.
“Kembali, Ran.” Terima kasih juga untuk perasaan mencintai ini, terutama kenangan dan pelajaran menyimpan perasaan dalam diam. “Jangan lupa denganku kalau sudah di sana.” Tenang, kamu tidak perlu memintaku untuk tidak melupakanmu, Ran. Aku akan selalu mengingat, seorang gadis pendiam yang kemisteriusannya sanggup membuatku jatuh cinta. Tapi kemisteriusannya jugalah yang membuat nyaliku mengkerut tidak berani menyatakannya. Sesuatu yang kaupikirkan selalu abu-abu, tak pernah berhasil kutebak dengan baik.
“Aku tidak akan melupakanmu, Leo.” Dia lalu melepaskanku. Tolong, yakinkan aku bahwa waktu bisa diulang, aku takut kehilangan gadis misterius yang selalu ada di sisiku. Aku takut tidak ada lagi yang mengerti diriku seperti dia. Aku takut tidak ada lagi seseorang yang mau mendengarkanku tanpa banyak protes, aku takut tidak ada lagi yang memahami apa yang aku inginkan, intinya…aku takut seseorang yang paling mengerti diriku, Ran, akan pergi dan akhirnya aku kembali sendiri. Seperti sebelum gadis itu menabrakku dan meminta maaf dengan bahasa Jepang sepaket dengan bungkukkannya.
Sore hari itu kami habiskan senja bersama, tetap dengan jati diri masing-masing. Aku masih dengan perasaan yang kusimpan rapat-rapat untuk Ran, dan Ran dengan kemisteriusannya yang tak pernah berhasil kupahami dengan baik. Kami tipe orang yang berbeda, tapi sama-sama  didewasakan oleh waktu. Waktu yang mengajari kami untuk menerima apa yang telah terjadi dan terus berjalan melanjutkan hidup. Kami, dua orang yang sama-sama belajar untuk melepaskan demi kebaikan orang yang dilepaskan.
***
Kalau dikenang, masa itu sudah hampir tiga tahun yang lalu. Tentang kisah kasih di sekolah masa SMA. Aku percaya jika banyak orang mengatakan masa itu adalah masa-masa yang cukup membekas dalam ingatan. Di masa itu aku belajar untuk menyimpan sesuatu dengan baik, aku belajar menyimpan perasaanku terhadap seorang gadis secara rapat-rapat. Di masa itu pula kurasakan tangan waktu membantuku naik ke tangga kedewasaan, di mana aku mulai belajar mengikhlaskan kepergian seseorang demi kebaikannya, sama seperti di saat aku tidak lagi menangis ketika ada seseorang merebut mobil-mobilan kesayanganku lalu berpikir di tangannya mainan itu akan lebih berguna.
Sebuah senyum langsung terulas ketika aku mengingat masa-masa itu. Aku memang sudah mengikhlaskannya untuk pergi ke Jepang dan terus melanjutkan hidupku di Indonesia. Itu memang sudah lama sekali, tapi ternyata rasa jatuh cinta diam-diam itu masih ada. Hatiku belum memilih wanita lain. Dia masih tetap setia dengan yang ada di seberang sana meski tidak pernah bertemu lagi, Ran Yamasaki.
Ah, apa kabar dia di sana? Mungkinkah sekarang dia jauh lebih bahagia daripada ketika masih di Indonesia denganku? Kuharap begitu. Bukankah dia sendiri juga berangkat ke sana demi meraih cita-citanya, demi kebahagiaannya? Aku yakin dia bahagia, karena aku percaya dengan janjinya untuk meraih cita-citanya dan bahagia dengan cita-citanya itu. Aku percaya dia akan menepati janjinya.
Lalu, apa lagi yang bisa kukatakan tentang gadis misterius itu? Selama ini dia selalu ada di salah satu sisi hatiku. Dia selalu berada di sana, terus berdiri tegak meski banyak badai yang menghadang. Meski banyak sekali kisah suka duka yang hatiku terima. Karena sosok itulah yang terkadang memotivasiku. Dengan diamnya yang profesional, meski sedih tapi dia tidak mengumbarnya, tidak berusaha mengiba dengan kesedihannya. Dia selalu berusaha untuk terlihat sekuat baja meski hatinya tidak lebih kuat dari besi yang teroksidasi. Aku sering kagum sendiri dengan caranya
Waktu itu, waktu ketika Ran mengatakan akan pulang ke Jepang, sebenarnya aku sudah menentukan pilihan. Masuk ke perguruan tinggi negeri lewat jalur tanpa tes. Aku sudah memutuskan untuk mengambilnya jauh-jauh hari, bahkan sebelum Ran menyampaikan kabar dia akan pergi ke Jepang. Tapi dengan cara itu pula aku berusaha mendapatkan beasiswa ke Jepang pula. Dan aku berhasil mendapatkannya.
Pesawatku baru mendarat kurang dari setengah jam yang lalu. Kini aku masih duduk di menunggu jemputan bersama dengan beberapa mahasiswa lain yang sama-sama mendapat beasiswa di negeri bunga sakura ini. Ran, hari ini dan beberapa waktu ke depan adalah giliranku yang berada di negerimu. Oh, ya, aku harus mengabarinya. Mungkinkah ini akan menjadi semacam masa lalu yang terulang lagi, tapi dengan latar belakang yang sedikit berbeda?
Subject : Apa kabar, Ran?

Ran, masih ingat denganku? Kuharap begitu. Kautahu, aku sama sekali tidak pernah lupa dengan gadis yang dulu dianggap sebagai gadis sombong karena usahanya untuk tetap tegar di depan teman-temannya. Ya, aku masih mengingatmu. 
Apa kabar? Setelah sekian lama kita tidak bertemu dan mengobrol, aku bingung apa yang akan aku katakan. Bahkan aku saja jarang sekali mengirimimu surel. Oh, maafkan temanmu ini, Ran. Omong-omong bahasa Indonesiamu masih lancar, kan? Kalau tidak, maka kamu yang harus meminta ampun kepadaku! Hahaha.
Tapi tolong, lupakan dulu sejenak masalah mengampuni dan diampuni, sesuatu yang lebih penting terjadi.
Aku sekarang ada di Jepang.
Bisakah kali ini kita merajut kisah seperti ketika kamu di Indonesia tiga tahun lalu? Mau ber-hanami[3]  jika sakura mekar sempurna? Aku masih ingat, kok, kalau kamu sangat suka masa itu.
Lalu, siapakah yang harus diampuni? Hahaha.




[1] Maaf! [jp]
[2] Boneka penangkal hujan.
[3] Tradisi Jepang dalam menikmati bunga

CONVERSATION

0 comments:

Posting Komentar

Back
to top