Dinding yang Tidak Akan Bisa Ditembus - #NulisBarengAlumni
![]() |
source: twitpaper.com |
Oleh: Refa Ans
Kedai kopi masih terus disinggahi. Sebuah tatapan nanar dilayangkan
gadis itu pada lelaki di pojok ruangan. Yang masih duduk manis dan sibuk
mengarsir kertas di hadapannya, kopi di sisinya sudah sejak tadi tidak
mengepulkan asap.
Sebuah rasa perih langsung merebak di dadanya tatkala iris
cokelatnya itu menangkap sosok itu. Segenggam garam kini terasa sudah tersebar rata
di lukanya yang belum sempurna kering. Seketika itu juga ia menyadari dinding
yang kini membatasinya dengan lelaku itu habis-habisan. Dinding tidak terlihat,
tetapi kekuatannya tidak pernah bisa ia tembus. Ralat, tepatnya tidak pernah
berani.
Mana berani menembus dinding itu kalau yang ia pertaruhkan adalah
keyakinan; sesuatu terakhir yang bisa tetap ia miliki ketika ia kehilangan
segalanya?
Ia menundukkan pandangan, menatap ke cangkir yang isinya tersisa
tidak sampai seperempat gelas. Tidak sanggup kala harus terus menatap lelaki
itu meski hanya mencuri pandang ketika menyadari seberapa besar dinding yang
telah menghalanginya. Rasanya terlalu sakit sampai ia merasa dirinya akan
berdarah karena rasa sakit itu. Sebegitu haruskah perbedaan di antara ia dan
lelaki itu memisahkan mereka?
Mungkin ia bukan seorang penganut agama yang baik. Banyak hal yang
belum ia lakukan untuk menyempurnakan keyakinannya, ia bahkan belum siap untuk
menutup aurat. Banyak yang belum dilakukannya sebagai seorang muslimah yang
baik. Meski begitu, ia sudah menetapkan di hatinya tidak akan menggadaikan
keyakinannya untuk bersama lelaki itu. Kenyamanannya bersama dengan lelaki itu
tidak akan pernah cukup membayar segala pengorbanan yang harus ia lakukan. Belum
lagi melihat reaksi seluruh keluarganya yang jelas akan menentang, karena ini tentang
keyakinan bukan suatu hal yang bisa dianggap sepele.
Sesekali, ia berusaha mencari jalan keluar lain untuk tetap bersama
lelaki itu. Tak jarang di pikirannya terlintas bahwa lelaki itu yang harus berkorban
untuknya, menggadaikan keyakinannya demi kebersamaan mereka. Dirinya juga ingin
lelaki itu menjadi imamnya. Ia ingin salat dan puasa bersama lelaki itu.
Namun, pemikiran lelaki itu sama sepertinya. Keyakinannya masih
terlalu berharga untuk ditukar. Ia mendapatkan ketenangan tersendiri ketika menjalankan
kehidupannya sebagai penganut Buddha. Gadis itu mendengar sendiri dari lelaki
itu tentang ketidaksanggupannya jika harus mengubah keyakinan.
Dengan kata lain tidak ada harapan tentang hubungan mereka.
Malam semakin menua. Baiklah, mungkin apapun yang terjadi ia harus
melepaskan lelaki itu. Ia belum siap menuhankan cinta. Ungkapan “cinta tidak
harus memiliki” kali ini harus ia benarkan, karena cinta yang kini ia alami bukan
tentang pemersatuan melainkan saling melepaskan untuk kehidupan masing-masing
yang lebih baik.
Gadis itu berjalan melenggang keluar kedai setelah membayar secangkir
macchiato yang tadi dipesannya. Ia
harap keputusannya minggu lalu untuk memutuskan lelaki itu tidak salah.
Kedai kopi masih terus disinggahi. Lelaki itu masih duduk manis. Tangannya
terus mengarsir, menyempurnakan sketsa wajah gadis yang tidak akan pernah ia
miliki karena batasan dinding itu. Dinding yang tidak akan bisa ditembusnya.
Matanya mengamati langkah gadis itu meninggalkan kedai. Sebuah
ujaran sinis terbersit di pikirannya, Apa
kabar? Apakah masih ada secuil rasa di dirimu untuk menembus dinding kokoh itu
tanpa kehilangan apapun yang kaumiliki?
Tulisan
ini diikutkan dalam tantangan #NulisBarengAlumni dari @KampusFiksi
Pekalongan, 8 Oktober 2015
1 comments:
Posting Komentar