Malaikat Penjaga - #KeretaAksara
![]() |
source: balesevizam.com |
Malaikat Penjaga
Oleh : Refa Ans
Oleh : Refa Ans
Seorang gadis dengan rambut tergerai itu berjalan di
atap kereta yang bergerak ke arah timur sambil merentangkan tangan.
Berusaha menyeimbangkan tubuhnya di atas atap kereta yang bergerak. Itu tidak
mudah. Sekalipun dirinya tahu bahwa ketika jatuh ia hanya perlu mengepakkan
sayap gaibnya, kembali ke atap kereta.
“Satu…. Dua…. Tiga…. Empat…. Lima….” Ia
menghitung jumlah gerbong kereta ini.
“Kali ini tidak lebih banyak maupun lebih sedikit.” Seperti biasa.
Ya, ia selalu ada di atap kereta yang berjalan,
karena ia adalah malaikat penjaga kereta. Tentu tidak ada yang tahu tentangnya.
Memang siapa yang pernah peduli dengan
makhluk tidak terlihat yang selalu menjaga kereta, meski mereka telah
dilindunginya? Gadis itu tertawa miris dalam hati, menertawakan diri
sendiri dan teman-temannya yang tidak pernah dianggap.
Entah sudah berapa lama ia diciptakan dan namanya digoreskan
dalam buku takdir untuk menanggungjawabi sebuah kereta—atau terkadang ia
menyebutnya sebagai ular besi jika jumlah gerbong terlalu banyak. Ia lupa
dengan orientasi saking membosankannya. Ia tidak pernah berani meninggalkan
kereta tempatnya bertugas walau tidak tahu apa resikonya jika meninggalkannya.
Ia hanya tahu, jika meninggalkan kereta, akan
terjadi sesuatu yang buruk.
***
Rambutnya yang tergerai dimainkan anak angin. Kedua
matanya sesekali menikmati pemandangan berkilas di kanan dan kirinya
yang lancar dan tanpa henti. Ia menghela napas, bosan. Mulai lelah dengan
pekerjaan yang entah sejak kapan diberikan kepadanya, karena ia kini telah
kehilangan orientasi waktu. Yang ia ingat hanya satu hari adalah sepaket siang
dan malam.
Sekarang, pekerjaan bagi gadis itu sangatlah
membosankan, meski beribu pemandangan dapat ditangkap oleh mata turquoise-nya. Dulu memang ia sempat
menyenanginya, tetapi sesuatu yang terlalu sering dilakukan dan berlebihan
tentu akan mendatangkan kejenuhan suatu saat. Begitu pula yang dirasakannya. Belum
lagi dirinya harus menahan terpaan angin dan terik matahari. Cobaan terberat
baginya.
“Andai aku boleh berganti pekerjaan setiap kali
bosan, mungkin dunia ini akan seindah surga,” lirih gadis itu sambil berdiri,
sekedar berjalan dari depan ke belakang dan sebaliknya. Ya, ia pernah tinggal
di surga. Tempat itu sangat indah, saking takjubnya ia tidak bisa mendeskripsikan
bagaimana keindahannya. Ia hanya tahu bahwa surga itu indah, terlalu indah
malah.
“Kau tidak perlu berganti pekerjaan, Rea.”
Tiba-tiba sebuah suara bass mengagetkannya. Gadis yang dipangggil Rea tadi, sontak
langsung berbalik. Dan sepasang mata turquoise-nya
bertemu dengan milik pemuda itu. Ah, saudara kembarnya, Reo. Asal kau tahu,
malaikat penjaga kereta diciptakan kembar, perempuan dan laki-laki. Ini ibarat
manusia diciptakan dengan jodoh, yang seakan ada benang merah di kelingking
mereka menghubungkan satu sama lain.
“Oh, kau, Reo.” Rea mengangguk ringan. “Hah?! Reo?!
Bagaimana bisa kau di sini? Lalu, apa yang terjadi dengan keretamu?” Gadis itu
langsung mencecar pemuda itu dengan pertanyaan dengan mata melotot. Harusnya ini masih jam kerjanya. Setahunya, Reo harus
bekerja sampai matahari terbit. Sedangkan, sekarang bahkan bintang baru saja
muncul.
Reo hanya tersenyum kecil sambil berbalik badan, dan
berjalan menjauhi adik kembarnya itu. Menuju ke pinggiran untuk duduk di sana. “Tidak
tahu,” jawabnya acuh tak acuh.
Mendengar itu, mata Rea makin mendelik, kedua bola
matanya seakan sudah siap menggelinding. “Bodoh! Bagaimana bisa kautinggalkan
tanggung jawabmu seenaknya begitu? Kereta itu harus kaupertanggungjawabkan!
Tidak bisakah kau memahami apa itu tanggung jawab?”
“Aku tahu apa itu tanggung jawab, Rea.” Reo menjawab
dengan tenang. “Ibaratkan saja dengan kita semua yang harus menjaga lampu
kristal di ruang pertemuan, Re.”
Rea hanya diam. Tidak tahu harus berkata apa lagi.
Mendapati saudari kembarnya itu terdiam, setelah
beberapa detik, Reo kembali membuka suara. “Aku hanya jenuh. Tidakkah kamu
jenuh, sepanjang kita menanggung jawabi kereta di bumi, kita hanya pernah
melihat pemandangan di sisi rel yang berkelebatan sesaat tanpa membiarkanmu menikmatinya? Tidakkah kamu berpikir bahwa sebenarnya di
luar sana masih banyak yang harus kita lihat? Bumi ini luas, Re.”
“Memang begitu, tapi bumi ini bukan diciptakan untuk
bangsa kita.” Rea menghela napas. “Bumi ini untuk manusia, biar mereka yang
menikmatinya. Kita sudah punya dunia sendiri, Reo. Dunia yang ada di antara
langit dan bumi.”
“Ah, bilang saja kamu tidak berani melanggar aturan
hidup kita, Re,” sahut Reo sinis. Ia lalu bangkit dan berjalan ke sisi Rea. “Rea,
tidak tahukah kamu, bahwa kita adalah malaikat yang istimewa? Kita diberikan
nafsu. Hanya malaikat penjaga seperti kita yang diberi kehormatan itu. Untuk
apa? Untuk melanggar aturan. Oleh karena itu yang namanya kecelakaan terjadi
jika yang dijaga ditinggalkan dan sedang tidak beruntung.”
Kesekian kalinya Rea hanya diam. Ya, dia memang tahu
fakta itu. Namun, selama ini ia tidak pernah memikirkan mengapa ia memiliki
keinginan yang disebut nafsu.
“Kamu pikir, malaikat mana selain malaikat penjaga
yang mau memotong sayapnya demi bersama dengan manusia yang dicintainya? Tidak
ada. Mereka melakukannya karena menuruti nafsu mereka, cinta mereka kepada
manusia yang mereka jaga. Melanggar apa yang tertulis di buku takdir,” ujar Reo
lagi. Membuat Rea semakin terdiam. Hatinya mulai melumer, melemah dari kekakuan dirinya selalu ingin menaati aturan.
“Reo….”
“Ayo, Re, kita menjadi anak bandel untuk sejenak.
Melanggar sebagian buku takdir.”
***
Telah terjadi
dua kecelakaan kereta dalam satu malam.
Seorang pemuda duduk di atap kereta yang melaju ke arah timur itu sambil membaca koran pagi yang tertinggal di dalam gerbong kedua pukul delapan tadi. Ah, ya, kecelakaan kereta itu adalah miliknya dan Reo. Bukan Rea.
"Ah, Rea, aku hanya menuruti nafsu. Suatu anugerah kita keistimewaan bagi kita, seperti kata kakak kembarmu." Ia melipat koran tadi sebelum menyelonjorkan kaki. "Aku menuruti perasaan yang seharusnya tidak kukecap ini. Perasaan cinta; yang katanya selalu rela berkorban untuk orang tercinta."
Seorang pemuda duduk di atap kereta yang melaju ke arah timur itu sambil membaca koran pagi yang tertinggal di dalam gerbong kedua pukul delapan tadi. Ah, ya, kecelakaan kereta itu adalah miliknya dan Reo. Bukan Rea.
"Ah, Rea, aku hanya menuruti nafsu. Suatu anugerah kita keistimewaan bagi kita, seperti kata kakak kembarmu." Ia melipat koran tadi sebelum menyelonjorkan kaki. "Aku menuruti perasaan yang seharusnya tidak kukecap ini. Perasaan cinta; yang katanya selalu rela berkorban untuk orang tercinta."
_____________________________________
Diikutkan dalam tantangan #KeretaAksara yang diberikan oleh @KampusFiksi
0 comments:
Posting Komentar