Karena Ketika Hujan - #NarasiSemesta
![]() |
source: chinatsu-san.blogspot.com |
Karena Ketika Hujan
Oleh: Refa Ans
Setelah tangan mungilnya selesai membentuk sepasang
mata dan seulas senyum di wajahku, gadis itu menatapku dengan seksama. Matanya
yang berkantung seperti bekas menangis tampak berbinar. Kurasakan hangat
sebuah harapan terpancar dari sana. Seulas senyum yang tidak lebih lebar dari
senyumku yang dibuatnya kemudian tersungging dari bibir kecilnya. Bulir-bulir air mata menyusul perlahan keluar dari sepasang manik biru di wajahnya yang putih bersih meski
tidak seputih tubuhku. Aku tahu, dia berharap sesuatu kepadaku. Karena mereka
yang menciptakanku pasti berharap agar aku bisa mengusir awan gelap pembawa
hujan. Hei, buatlah senyuman untukku. Jangan menangis.
Dengan langkah yang mantap dan yakin, dia
berjalan mendekati jendela kamarnya yang terbuka lebar. Angin musim semi langsung
menghembus anak-anak rambut cokelatnya yang tidak terikat. Dalam-dalam
dihirupnya udara-udara itu hingga menyesaki rongga dada, dan setelah itu kulihat dadanya
berhenti naik turun seperti tadi. Isakkannya sudah mereda. Dapat kurasakan pula
kini dia sudah sedikit lebih tenang.
Decit kursi digeret kemudian terdengar. Lalu satu persatu kakinya dinaikkan ke benda itu sambil berpegangan ke kusen jendela dengan tangan satunya yang memegangku. Tampaknya
dia akan menggunakan benda kayu itu untuk menggantungku. Menggangtungku dengan…terbalik?
H-hei, apa maksudnya dia menggantungku terbalik? Apa yang diharapkannya? Dia
berharap turun hujan?
Oh, tidak… Ini menghancurkan fungsi sebenarnya aku diciptakan.
Jangan… Aku ingin normal seperti teman-temanku yang digunakan untuk mengusir hujan.
Apa kali ini aku diciptakan tidak sesuai dengan
aturan yang sudah ada?
Gadis itu lalu hanya melenggang pergi tanpa sepatah
kata pun. Dia tidak mendengar pikiranku, tentu saja. Aku lalu dibiarkannya sendiri bergoyang-goyang dihembus angin. Dia tidak perduli
dengan keinginan bocah lain yang dirusaknya.
Apa yang harus kulakukan?
***
Sejak hari itu—karena memang aku baru diciptakannya
hari itu jadi aku tidak tahu bagaimana dia sebelumnya—dia suka sekali berdiri sambir
bersandar di kusen jendela. Apa lagi ketika hujan. Dia selalu diam di situ
sampai rintik-rintiknya habis dijatuhkan. Hanya ketika badai dan sudah larut
malam maka dia akan menutup jendela.
Saat hari cerah juga dia kadang berdiri di situ
dengan mata sesekali melirikku yang tergantung terbalik. Aku dapat melihat juga
terkadang bibirnya membisikkan sesuatu. Berkali-kali pula matanya menitikkan
cairan-cairan seperti hujan yang diharapkannya turun dari langit. Aku tidak
pernah tahu apa yang dipikirkannya. Aku benci sendiri dengan permintaannya.
Permintaannya merusak banyak permintaan lain. Permintaannya merusak hakikatku.
Kadang aku ingin marah agar tidak digantung
terbalik. Aku ingin berfungsi seperti seharusnya. Tapi sepertinya ini takdirku.
Gadis itu menentukan takdirku untuk membantunya mengharapkan hujan. Dan ketika
ingat takdirku ini aku selalu ingin menerima saja keterbalikkanku ini.
Bagaimana pun juga, aku harus menerima karena dia yang menciptakanku. Aku harus
tetap patuh menuruti permintaannya. Hati nuraniku yang meminta begitu. Ah, aku
berbicara seakan aku memang punya ati sepertinya.
Hingga hari ini, tiba-tiba gadis itu mengambilku
dari jendela. Aneh. Dia mengambilku dengan senyuman dan mata yang begitu
berbinar. Padahal aku hampir tidak pernah mendapatinya menatapku dengan begitu.
Bahkan ketika hujan datang dan harapannya terwujud, dia hanya menatapku dengan
tatapan sendu dan air mata yang berlinang keluar. Lalu dari gerakan bibirnya
aku hanya mendapati dua kata, “Domo
arigatou[i].”
Setelah aku lepas dari tempatku bergantung tadi,
gadis itu lalu duduk di kursi. Dia menatapku lalu berkata dengan jelas sekali.
“Misa akhirnya mengerti. Bahwa meski hujan turun seperti
saat itu lagi, okaa-san[ii] tidak akan hidup
lagi seperti sebelum tertabrak selepas hujan. Karena okaa-san memang masih hidup dan selamanya hidup di dalam hati Misa
dan orang-orang yang menyayanginya,” katanya masih menatapku lekat-lekat. “Jangan
marah karena kau tercipta tidak sesuai hakikatmu, ya. Misa hanya ingin hujan
datang. Karena ketika hujan, Misa selalu merasa okaa-san masih hidup, sosoknya terasa semakin nyata.”
Seulas senyum yang lebih lebar lalu
disunggingkannya. Dan aku tidak lagi digantung terbalik, tapi didudukkan di meja belajarnya.
Sekarang, aku mengerti apa arti dari matanya yang
hangat penuh harapan waktu itu.
0 comments:
Posting Komentar