Bisakah Aku Sehebat Dia?

source: bang2write.com
Ah, gagal lagi. Ai menghembus nafas panjang. Sedari tadi ia hanya memasukkan bola ke ring beberapa kali dari sekian kali ia mencoba.

Baru saja Ai gagal memasukkan bola ke ring, lagi-lagi ada anggota tim yang lain berhasil memasukkan bola ke ring. Semakin kalut perasaan Ai. Ia terus mencoba dan mencoba, tapi hanya begitu saja.

"Ayo Ai, kamu pasti bisa," Friska berdiri di samping Ai dengan senyum manisnya, lalu ia langsung melemparkan bola yang ada di tangannya. "Jangan menyerah kalau kamu udah usaha keras tapi gagal. Usaha keras itu tak akan menghianati. Mungkin usahamu saja yang kurang keras. Kegagalan adalah perjalanan menuju kesuksesan, Ai," Ucap Friska kembali dengan senyum manis merekah di bibirnya, lalu ia meninggalkan Ai sendiri.

"Thanks," Ucap Ai ke Friska yang kembali memberi semangat kepadanya. Andai semua anggota tim sebaik Friska. Baru saja Ai membatin, tiba-tiba Rena, kapten tim basketnya, menghampirinya.

"Ai, lebih baik kamu pulang. Daritadi keberhasilanmu shooting hanya sekitar satu banding sepuluh," Rena berucap ke Ai tanpa perasaan tak enak sedikitpun.

Friska yang tak sengaja ucapan Rena langsung menegurnya. "Rena..."

"Udah, gapapa kok. Aku pulang aja ya. Toh disini aku cuma mengganggu," Ai tersenyum kecut. Hatinya dipenuhi kekecewaan.

Dengan langkah gontai Ai berjalan ke pinggir lapangan menuju tempat ia meletakkan tasnya. Ia duduk di sana sambil menatap kecewa ke arah lapangan. Seandainya mereka mau memberiku kesempatan. Ai hanya tersenyum getir.

"Ai..." Friska tiba-tiba menghampiri Ai yang perasaannya masih kalut karena ucapan Rena tadi. Anggota tim yang lain tak perduli, tetap berlatih seakan tidak terjadi apapun. "Kamu gapapa? Omongan Rena jangan dimasukkin ke hati," Friska menyentuh bahu Ai.

Ai hanya tersenyum. "Gak kok, kalo aku masukkin hati udah nangis kali," Ai berusaha menyembunyikan wajah kecewanya. Walaupun tak ia masukkan ke hati, ucapan itu tentu saja membuat dadanya cukup sesak.

"Jangan menyerah, kamu harus berjuang lebih keras lagi ya," Seulas senyum mengembang di bibir Friska.

"Iya," Ai segera berdiri dan diikuti Friska. Tas Ai sudah ada di pundaknya. "Sudah ya, aku mau pulang," Ai bersiap meninggalkan Friska.

"Iya, hati-hati di jalan. Sekali lagi, kamu jangan masukkin omongan Rena ke hati ya," Ucap Friska.

"Iya, aku pulang ya. Tolong pamitin sama Rena dan lainnya, gak enak ganggu mereka latihan," Ai segera pergi meninggalkan Friska. Friska melambaikan tangan ke arahnya. Ia hanya tersenyum ke Friska.

Setelah kepergian Ai, Friska kembali ikut bermain bersama anggota tim yang lain. Rena tak perduli sama sekali dengan Ai. Ia hanya tetap sibuk berlatih. Mungkin pada dasarnya Rena tidak memperbolehkanku masuk tim. Pikir Ai ketika menengok mendapati Rena biasa-biasa saja. Ai mendengus nafas panjang dan meneruskan langkahnya menuju tempat parkir untuk mengambil sepeda.

Ai mengayuh sepedanya perlahan sambil menikmati angin sepoi sore hari. Matahari masih bersinar, tapi ia sudah ada di barat. Ia berusaha menghibur diri, mencoba melupakan apa yang terjadi tadi. Meskipun ia kecewa berat, ia berusaha untuk tidak menangis. Berusaha mengembangkan senyum selebar mungkin.

Ai terus mengayuh sepedanya perlahan tapi terus berjalan, hingga ia berhenti karena matanya mendapati anak-anak kecil sedang bermainbersama di lapangan. Mungkin mereka bermain soft ball, lebih baik aku melihatnya. Siapa tahu bisa mengobati perasaanku. Tanpa pikir panjang Ai segera memarkirkan sepeda dan melihat pertandingan soft ball. Ternyata di sana juga ada banyak orang, mungkin mereka berusaha menghibur diri.

"Ayo, ayo, ayo," Para penonton menyemangati tim jagoan mereka masing-masing. Terkadang mereka juga sahut-sahutan.

Menyenangkan bisa melihat keceriaan anak-anak yang polos itu. Seakan tak ada beban yang mereka pikul, walaupun mungkin mereka akan dimarahi karena mereka terlalu asyik bermain dan lupa waktu. Seandainya aku bisa mengulang masa-masa itu. Ai hanya ikut menonton, dan sesekali berteriak karena gemas.

Saat sedang seru menonton pertandingan, tiba-tiba mata Ai menangkap seorang gadis kecil duduk sendiri. Mungkin dia di jauhi temannya. Rasanya tak apa kalau aku dekati ia dan mengajaknya ngobrol. Ai bangkit dari duduknya dan berjalan menuju gadis kecil itu.

"Hai..." Ai menyapa gadis kecil itu. "Teman-temanmu kemana? Kok sendirian?" Ai mencoba melihat wajah gadis itu yang tak berpaling dari lapangan. Ternyata ia menangis. Wajahnya berurai air mata. "Loh, kamu kenapa nangis?"

Anak itu hanya menggeleng dan diam. wajahnya seperti menyiratkan kekecewaan.

"Gara-gara kakak ya? Kakak pergi deh kalau kamu ngerasa keganggu," Ucap Ai hati-hati, takut kalauu-kalau anak kecil itu menangis karena ia dekati. Gawat, kalau ia menangis gara-gara aku, bisa-bisa ibunya mengejarku sambil membawa panci. Ai membayangkan hal itu.

"Bukan kok, bukan karena kakak," Anak itu menoleh ke Ai.

"Terus, kenapa kamu menangis? Jangan nangis dong, kamu kan kalau gak nangis cantik," Ai tersenyum. Ia lalu menyeka air mata anak itu. Ia juga membetulkan poni anak itu yang sepertinya mengganggu wajah anak itu.

"Mereka tak memperbolehkan aku ikut main. Katanya aku hanya menganggu," Anak itu sepertinya akan menangis lagi, tapi ketika melihat senyum di wajah Ai, ia tak jadi menangis.

"Sayang, kamu gak boleh nangis cuma gara-gara hal begitu. Kalau mereka bilang kamu hanya mengganggu, kamu buktikan kamu bisa jadi lebih baik dari mereka," Ai mengelus rambut anak perempuan itu. "Usaha keras itu tak akan menghianati," Ai kembali mengembangkan senyumnya.

"Iya, kak," Anak perempuan itu tersenyum lebar sekarang.

"Kalau menangis, hanya menunjukkan betapa lemahnya kamu. Menangis boleh, tapi jangan setiap masalah kamu menangis walaupun melegakan," Ai mengelus rambut panjang anak perempuan itu. "Oh iya, nama kamu siapa? Lucu ya, kita udah ngobrol banyak tapi gak saling kenal," Ai tertawa kecil lalu mengulurkan tangannya mengajak anak perempuan itu berkenalan.

"Namaku Arumi, Kak," Arumi menyalami tangan Ai yang terulur.

"Nama kakak, Ai. Panggil Kak Ai saja ya," Ai mengacak rambut Arumi. "Oh, sudah sore, kakak pulang dulu ya. Jangan lupa sama kata-kata kakak tadi," Ai segera bangkit.

"Iya, kak," Ucap Arumi lalu Ai segera meninggalkan lapangan itu dengan penuh senyum.

Langit sudah mulai berwarna jingga. Burung-burung segera kembali ke sarangnya. Dengan senyum yang merekah, Ai pulang ke rumah. Ia kembali mengingat kata-kata penyemangat yang ia keluarkan tadi. Seharusnya aku mengatakan itu juga pada diri sendiri.

Ai masih teringat wajah manis Arumi tadi. Semangat Arumi membuat Ai sadar. Semangat Arumi juga membuat semangat Ai tersulut kembali. Ayo, Ai, anggap saja hal itu biasa, kritikan dari Rena. Tak ada orang yang sempurna di dunia. Senyum tak henti-hentinya merekah di bibir Ai. Mungkin orang yang melihatnya akan menyangka ia gila karena terus tersenyum. Tapi, Ai tak perduli. Sekarang ia mendapat semangat baru. Tentu saja ia sangat senang.

Beberapa hari kemudian, Ai memutuskan menonton soft ball di lapangan itu. Ia mencari-cari Arumi. Danbetapa terkejutnya Ai, Arumi ikut bermain. Ia tampak mendapat giliran memukul. Dengan harap-harap cemas Ai memperhatikannya. Dan Arumi bisa memukul bola yang dilempar pitcher. Ia lalu segera mengitari home base. Berhasil, Arumi berhasil mencetak satu angka.

Arumi tersenyum ke arah Ai, begitu mengetahui disitu ada Ai. Ia mengacungkan jempol mungilnya. Kamu hebat Arumi. Bisakah aku sehebat dia? Senyum kembali terukir di bibir Ai.

CONVERSATION

0 comments:

Posting Komentar

Back
to top