![]() |
source: weknowyourdreams.com |
***
Jari-jariku menari dengan gemulainya di atas tuts hitam putih piano. Malam semakin larut, mungkin tak apa jika aku bermain piano malam begini. Lagipula, lingkungan rumahku sepi. Disini hanya tinggal aku dan kakak perempuanku, yang rasanya tidak pernah perduli denganku, sejak kedua orang tuaku meninggal pada kecelakaan mobil waktu itu. Sikapnya dingin sekali terhadapku. Ia menganggap aku yang membunuh mereka, alasannya hanya satu, ayah dan ibu kecelakaan ketika mereka dalam perjalanan untuk menontonku di suatu kontes musik.
Angin malam ini rasanya dingin sekali. Gemerisik pepohonan di luar membuat malam ini terasa semakin mencekam. Apalagi daerah rumah kami bukanlah komplek perumahan ramai, apalagi elit, meskipun rumah kami di bilang mewah.
Aku tetap saja fokus pada jari-jariku yang menari dengan gemulainya di atas tuts menghasilkan sebuah nada merdu, lagu yang mengingatkanku pada kedua orang tuaku. Karena lagu indah ini, aku gunakan untuk kontes itu. Kontes yang membuat kedua orang tuaku tewas dalam perjalanan menontonnya, kontes yang membuat kakak perempuanku sendiri membenciku. Aku tetap fokus, dan tak mendengar decitan pintu terbuka.
"Mati kamu! Seharusnya sudah dari dulu! Sudah dari dulu aku melakukan ini. Membunuhmu! Karena kamu melakukan hal yang sama kepada ayah dan ibu!" Suara dingin kakak perempuanku berbisik di telingaku. Punggungku rasanya tak karuan. Tubuhku sudah lemas. Darah terus mengucur dengan derasnya. Aku tak pernah berfikir ini akan terjadi. Kakakku sendiri, akan menghujamkan sebuah pisau ke punggungku, adiknya sendiri. Sungguh tak habis pikir, sebenci itukah ia denganku?
"Kakak, aku...minta...maaf. Hhh...karena...aku...sudah...tak...sengaja...membunuh...mereka." Dengan sisa kekuatan yang ada, aku mengatakannya. Hanya seperti bisikan. Mungkin karena aku terlalu lemah. Bernafas saja tersenggal-senggal, apalagi untuk.mengatakannya. Tapi aku harus, atau kakak tak akan pernah memaafkanku meski aku sudah tidak ada.
Tak berapa lama, aku merasakan sesuatu yang hangat menetes di leherku. Air mata kakakku. Ia menangis? Karena apa? Menyesal? Atau bahagia karena berhasil membunuhku?
"Maafkan kakak. Kakak benci lagu itu! Karena lagu itu ayah ibu meninggal! Mari kita akhiri semua ini. Kakak sudah tak kuat lagi, menahan semua beban batin ini! Sakit, apalagi melihat mereka jauh menyayangimu. Maaf, kakak tak bisa mengendalikan emosi.kakak." Kakak terus saja menangis. Air matanya begitu deras. Seperti darah dari punggungku.
Aku hanya menyunggingkan senyum manisku ke kakak. Senyum terakhir kakak. Aku harap ia akan terus mengenangku. Kekuatanku sudah habis. Aku merasakan pisau yang tadi menghujamku dicabut kakak.
Sebelum mataku menutup, kakak melepaskan tubuhku yang di topangnya. Aku jatuh terjengkang ke belakang. Dan detik terakhir, samar-samar aku melihat kakak menusuk pisau itu, di dadanya. Apakah ia menyesal membunuhku? Aku sudah tak kuat lagi, tak kuat untuk mendengarkan kakak. Dan aku mendengar bisikan terakhir kakak, "Kakak sayang kamu, Elena..."
Lagu itu membunuh lagi. Aku dan kakakku.
Keren.... keep writing ya ;D
BalasHapusHehe, iya :)) Thanks :)
BalasHapus