Simfoni Hitam
![]() |
source: intellectualfroglegs.com |
Terlalu berani. Sama saja menyiksa diri sendiri. Tapi, bukankah aku sudah jatuh, jatuh cinta kepadanya? Bukankah yang dinamakan jatuh itu sakit? Jadi, keoptimisan diatas sebuah hal yang pesimis, dengan kata lain berharap suatu harapam kosong, masuk ke dalam kontrak aku jatuh cinta. Bukan hanya aku, tentunya semua orang.
Hal bodoh yang aku lakukan lagi, aku terus memikirkannya. Aku terus merindukannya. Hal yang sia-sia. Karena dia tak mungkin membalasnya, meskipun dia mengetahuinya. Memimpikanku, merindukanku, dan menginginkanku ada di sampingnya adalah hal bodoh yang aku bayangkan. Rasanya hanya dia yang terus berputar di otakku. Bahkan ketika aku terbenam dalam alunan nada.
***
Tak bisakah kau
Sedikit saja dengar aku
Dengar simfoni ku
Simfoni hanya untukmu
Seisi ruangan bercat putih itu bergema potongam lagu Simfoni Hitam yang aku nyanyikan dengan iringan piano kesayanganku.
Air mata tak absen mengalir di pipiku. Suaraku bergetar menyanyikannya. Otakku berputar, mengingat tentangnya, tentang dia, seseorang yang aku cinta, sayangnya tak pernah membalas rasa itu.
Aku akhirnya berhenti menyanyikannya. Tak kuat lagi. Hatiku perih. Hatiku rasanya sudah tersayat-sayat oleh bayanganmu yang seperti belati baru saja diasah.
Piano di depanku berhenti berdenting.
Aku memainkan lagu yang lain. Jariku kembali menari diatas tuts hitam putih piano di depanku.
Nada awal yang begitu familiar memasuki telingaku. Fur Elise. Lagu yang belum aku kuasai dengan sempurna. Entah mengapa hatiku membawa tanganku untuk memainkan lagu ini, lagu yang bercerita tentang cinta tak berbalas sama seperti arti lagu Simfoni Hitam milik Sherina.
Aku menikmati setiap alunan nada dari piano ini, meskipun ada beberapa nada yang salah. Air mataku menjadi semakin deras saja. Lagu ini memenuhi sudut-sudut ruangan.
Aku tak pernah bosan mendengarkan lagu ini. Entah mengapa. Dan setiap kali memainkannya air mata selalu mengalir di pipiku. Membuat sebuah sungai kecil yang begitu deras. Hatiku perihnya bukan main. Mengapa? Apalagi kalau bukan teringat akan dia yang bahkan menganggapku ada saja sepertinya tidak pernah? Ironis sekali kisahku ini. Sebuah dongeng cinta tak berbalas.
Nada terakhir sudah aku tekan. Air mataku masih mengalir. Aku lalu berputar dan membelakangi piano. Mengusap bekas aliran air mata. Aku menenangkan diriku sendiri. Berusaha menjernihkan pikiranku, lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
Aku selalu bertanya setiap mengingat perasaanku kepadanya. Adakah aku di hatinya? Pernahkah dia merindukanku? Apa aku pernah sekali saja muncul di hatinya? Pernahkah ia terjaga karena bayanganku? Pernahkah ia melakukan yang aku lakukan dan merasakan yang aku rasakan pada dirinya? Untuk yang terakhir mungkin ya, hanya saja bukan kepadaku. Tapi kepada perempuan yang lain yang entah siapa.
Kadang aku merasa dunia tak adil, ketika aku mencintai orang lain yang bahkan aku tak tahu dia itu siapa. Dan, apakah aku akan siap jika nanti dia dan seseorang yg dicintainya akan menjadi sepasang kekasih? Apakah aku kuat menahan air mata? Apakah hatiku tak akan perih? Semoga saja ya, paling tidak aku dapat mengucapkan selamat dan bisa berpura-pura tersenyum di depan mereka.
***
Langkah kakiku bergaung di sepanjang koridor. Tentunya koridor masih sepi, sekarang masih terlalu pagi untuk berada di sekolah. Hanya ada beberapa murid yang berlalu lalang di koridor. Aku tidak begitu memperhatikan jalanku. Mana mungkin ada anak yang terburu-buru jika sepagi ini? Ah, tapi mungkin saja.
Brak.
Tiba-tiba saja aku menabrak sesuatu, oh mungkin seseorang. Aku terjatuh, dan segera saja bangun.
"Friska, lo gapapa?" Aku sedang sibuk membersihkan rokku yang terkena debu. Terdengar suara berat itu memanggil namaku.
"Gapa..." Ucapanku seketika terhenti ketika melihat siapa yang menabrakku. "Gue gapapa kok," Lanjutku menyelesaikan ucapanku yang terhenti tadi karena terkejut.
Angga. Dia yang menabrakku. Dia yang selalu ada di mimpiku. Dia yang membuatku terjaga di malam hari. Dan dia juga yang selalu berputar di otakku. Dia yang sering membuat air mataku tak hentinya menetes.
"Maaf, gue gak sengaja tadi. Gue lagi buru-buru." Ia berbicara denganku, tapi matanya malah berkeling. Setelah itu, dia pergi. Entah kemana. Aku tak perduli. Lagipula, memang aku ini siapa dia? Teman bukan, saudara bukan, apalagi pacar. Huh.
***
Brak.
Aku melemparkan tasku disebelah bangku Shania, sahabatku. Lima menit lagi bel masuk berbunyi.
"Hei! Darimana?" Tanya Shania.
"Kantin." Aku menjawab singkat.
"Kok bete gitu?" Selidik Shania karena melihatku yang masuk ke kelas terlalu siang dan tentu saja aku datang dengan muka kusut.
Aku lalu menceritakan sesuatu itu yang mengganjal di hatiku dengan panjang lebar. Shania mendengarkanku dengan penuh perhatian. Tepat setelah aku diam, hanya selisih beberapa detik, bel masuk yang memekakkan telinga berbunyi. Apalagi kelasku berada sangat dekat dengan pengeras suara menyebalkan itu.
***
Masih saja ucapan Shania terngiang di telingaku. Otakku masih tak percaya dengan hal itu. Hatiku perih. Aku benar-benar tak bisa mempercayai itu. Yang aku takutkan terjadi. Dia memiliki seorang kekasih. Tapi, aku bisa apa? Aku bukan siapa-siapa. Untuk cemburu saja rasanya tak berhak.
Siapa sih aku ini? Aku, Friska, hanya gadis yang diam-diam mengaguminya. Jadi, aku tak punya hak melarangnya melakukan ini itu. Beruntung, gadis itu. Ia bisa selalu menemaninya, menikmati senyumnya, menjadi salah satu sebab senyumnya, muncul di mimpinya, yang akan diberinya coklat ketika hari Valentine tiba, dan tentulah dia seorang yang menempati seluruh relung hati Angga.
***
Piano di depanku masih tertutup. Aku belum mengganti baju sekolahku. Aku belum sempat berjumpa dengan kasurku, aku langsung saja kemari. Berusaha menenangkan hatiku. Musik. Hal yabg dapat membuat hatiku tenang kembali. Aku yakin, hanya piano di depanku ini yang mau mengertiku. Ia yang paling mengerti apa yang aku rasakan. Hanya ruangan ini yang menerimaku sepenuh hati, memberiku kebahagiaan tersendiri.
Aku mulai membuka piano di depanku lalu meletakkan tanganku di atas tuts berwarna hitam dan putih itu. Aku mulai memainkan lagu Simfoni Hitam, aku hanya memainkan instrumentalnya. Aku tak ingin bernyanyi. Hanya ingin bermain dengan alat musik ini. Dasar bodoh, mengapa aku selalu saja memainkan lagu ini dan menyakiti perasaanku sendiri? Bodoh, bodoh, bodoh!
Dengan lagu ini rasanya semua sudah jelas. Tak perlu aku mengatakan hal lain. Sudah jelas di lagu itu, bagaimana perasaanku. Betapa hancurnya. Sakit, ketika mengetahui orang yang kau suka sudah menjalin suatu hubungan dengan orang lain.
Baru saja sampai di bagian reffrain lagu, air mataku sudah mengalir deras dipipiku. Dadaku sesak. Bayangnya terus berputar di otakku. Mampukah aku melupakan bayangnya? Mampukah aku menghapusnya.dari mimpiku? Hei, ayolah. Hidup itu mesti maju, tak bisa hanya diam disitu terus. Terjebak di masa lalu.
Ini bukan masalah tak bisa berjalan, tapi rasa ini terlalu sakit. Seakan memakan hatiku. Luka di hatiku ternganga lebar terus mengucurkan darah segar. Bodohnya lagi, itu luka karena aku sendiri. Luka karena aku tak pernah berani menyatakan perasaanku ini. Luka karena aku memendamnya sendiri.
Tak ada yang bisa di salahkan, dan aku benci itu. Menyalahkan diri, percuma saja rasanya.
***
"Fris? Shania udah punya pacar ya?" Tanya Sendy tiba-tiba ketika aku sedang duduk sendiri sambil menyalin Tugas Fisika milik Shania. Enth Shania dimana, mungkin ia ke kantin.
"Hah? Masa' sih?" Aku masih belun percaya. "Kok dia gak cerita?"
"Iya, seriusan deh. Tadi dia jalan bareng sama Angga di kantin," Ucap Sendy sambil duduk di sebelahku.
Deg.
Hatiku sakit. Perih. Mataku panas, ingin rasanya air mataku tumpah. Beginikah rasanya ditusuk dari belakang oleh sahabat sendiri? Beginikah rasanya dikhianati sahabat sendiri? Ternyata aku salah mempercayai seseorang. Orang yang selama ini
"Eh...iya. Em...ntar gue tanyain, deh," Jawabku dengan susah payah sambil menahan air mata. "Mungkin dia belum sempat cerita sama gue," Aku tersenyum kepada Sendy dengan terpaksa. Sendy lalu meninggalkanku sendiri yang tengah menatap kosong buku tugasku.
Ingin sekali rasanya saat ini aku menangis dan meraung. Tapi apa daya? Sekarang aku di kelas, bukan di ruang musikku. Disini tak ada yang bisa mendengar ceritaku. Tak ada piano. Aku hanya bisa memendamnya sendiri saat ini.
Aku lalu kembali sibuk ke Tugas Fisika. Berusaha menyibukkan diri. Berusaha meghibur hatiku yang perih. Ternyata yang beberapa hari ia bicarakan dirinya sendiri. Ternyata sahabatku sendiri yang meremuk redamkan hatiku. Tak ku sangka. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Marah? Itu terlalu egois. Merelakannya? Sama saja itu membuat sebuah lubang lagi. Lalu?
Ttd
Refaans :))
0 comments:
Posting Komentar